Menurut RE. Elson dalam bukunya 'Suharto: Sebuah Biografi Politik', hubungan cinta dua insan yang berbeda latar belakang status sosialnya itu diuntungkan oleh situasi zaman revolusi.
Era revolusi memungkinkan seorang pemuda desa seperti Soeharto memiliki “pamor” karena berkecimpung sebagai perwira militer yang memiliki tempat terhormat pada masa itu.
Itulah yang membuat gambaran Soeharto berbeda di depan mata calon mertuanya, selain tentu saja karena hubungan dekat keluarga pamannya dengan orangtua Hartinah.
“Perkawinan kami tidak didahului dengan cinta-cintaan seperti yang dialami oleh anak muda di tahun delapan puluhan sekarang ini. Kami berpegang pada pepatah, ‘witing tresna jalaran saka kulina,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH, dalam 'Ucapan, Pikiran dan Tindakan Saya'.
Mengutip dari SuryaMalang,dalam buku otobiografinya, Soeharto juga menulis dirinya dan sang istri selalu menjaga ketentraman rumah tangga dengan cinta dan pengertian.
Namun tak bisa dipungkiri, cinta kasih dan dukungan yang diberikan Hartinah menjadi pendorong karir Soeharto sebagai presiden.
Seperti pasangan suami istri lainnya, cemburu dan cekcok suami istri juga pernah dialami Soeharto dan Hatinah.
Tetapi baik Soeharto maupun Hartinah bisa menempatkan kecemburuan secara bijak hingga hubungan keduanya langgeng.
"Hanya ada satu Nyonya Soeharto dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbul pemberontakan yang terbuka di dalam rumah tangga Soeharto," demikian tulis kata Pak Harto.
Selama 49 tahun mereka hidup berdampingan. Sampai Hartinah berpulang pada 1996.
Dan, 12 tahun kemudian, Soeharto menyusul wanita terkasihnya untuk kembali bersama.