“Kalau para pelanggar justru dijadikan duta saya melihatnya itu hal yang sia-sia dan efeknya nol," tegas dia, melansir laman unair.ac.id via Kompas.com.
"Karena duta harusnya memberikan panutan, namun publik sudah mengetahui bahwa sosok itu sendiri tidak mengimplementasikan value bidang yang diemban dengan baik dan konsisten,” tambahnya.
Dia menjelaskan, berdasarkan teori bandura, seorang panutan harus memenuhi 2 kriteria, yakni mampu mengidentifikasi atau mendorong (menginspirasi) orang lain untuk melakukan sesuatu seperti yang dia lakukan dan mampu memberikan contoh serta dukungan.
“Jadi tidak bisa kita mengangkat duta dengan alasan sosok itu terkenal atau sedang viral," ujar Falih.
"Sudah saatnya duta itu diambil dari kalangan tidak melangit, tapi membumi,” tekannya.
Maksud dari membumi, kata Falih yakni mengangkat seorang duta tidak melulu harus karena orangnya terkenal.
Masyarakat dari kalangan bawah juga layak diangkat sebagai duta, selama dia mampu menginspirasi orang lain dan berkomitmen/konsisten menerapkan bidang terkait di kehidupan sehari-hari.
“Ketika kita melihat bahwa ada orang lain dari kalangan bawah yang justru melakukan sesuatu, maka hati kita akan tersentuh dan ikut tergerak melakukan hal yang sama," ujar Falih.
"Jadi yang terpenting dari sosok duta adalah benar-benar melakukannya secara konsisten dalam kehidupan nyata dan mampu menggerakkan banyak orang,” tandasnya.
Fenomena terbaru seorang duta diangkat dari pelanggar terjadi pada pria yang mengumpat kepada para pemakai masker di Mall Surabaya.