Sosok.ID -Berkah ramadan dirasakan oleh banyak orang tanpa terkecuali rakyat Indonesia di awal kemerdekaan.
Bukan tanpa alasan, karena ternyata Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang tercatat pada tanggal 17 Agustus 1945 bertempatan dengan bulan Ramadhan.
Hal itu menjadi berkah besar bagi bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan sebagai sebuah negara.
Meski demikian, berkah Ramadhan dan Lebaran tersebut dirasakan berbeda oleh Soekarno termasuk saat dirinya masih kecil.
Presiden Pertama RI, Soekarno, yang sempat merasakan pahit-manisnya merayakan Lebaran.
Seperti kita ketahui bersama, meski berdarah ningrat, orang tua Soekarno nyatanya berasal dari keluarga sederhana.
Sang ayah, R Soekeni merupakan pekerja biasa.
Sedangkan ibu Soekarno, Nyoman Rai Srimben adalah perempuan ningrat Bali, namun ia terusir dari lingkungan keluarganya.
Baca Juga: Rayakan Lebaran Dengan Makan Ketupat Tapi Takut Cepat Basi? Begini Cara Mengakalinya!
Rai Srimben harus melepas status keningratannya karena menikah dengan Soekeni.
Pernikahan mereka kala itu dianggap tabu, pasalnya berdua beda keyakinan.
Ayah kandung Soekarno itu adalah Muslim, sementara Srimben menganut keyakinan Hindu.
Sebab diputus status kekerabatannya, mereka sekeluarga harus hidup dalam kesederhanaan.
Ada pula kisah ketika Soekarno hidup sangat kekurangan, yang mana gaji Soekeni sebagai guru tak mencukupi kebutuhan harian keluarganya.
Beruntungnya keluarga Soekarno,karena masih ada kerabat yang mau menolong.
Kerabat itu berasal dari pihak keluarga Srimben di Singaraja.
Karena pertolongan tersebut, mereka bisa bertahan hidup.
Masa Sulit Soekarno Kecil Merayakan Lebaran
Dilansir TribunSolo.com dari buku “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat”, terdapat bagian-bagian sulit ketika sang proklamator menjalani Ramadan hingga berlebaran.
Baca Juga: Tak Jauh Beda dengan Indonesia, Begini Orang Arab Saudi Rayakan Hari Lebaran
Saat Soekarno masih berusia 6 tahun, orang tuanya pindah ke Mojokerto.
Mereka harus tinggal di penampungan kumuh.
Selama tinggal di tempat kumuh, Soekarno menyaksikan para tetangganya bisa membeli jajanan, pepaya, hinga permen.
“Tapi aku tidak. Tidak pernah,” kata Soekarno dalam buku yang ditulis oleh wartawan asal Amerika Serikat, Cindy Adams, itu.
Begitu pula saat Ramadan rampung dan Lebaran di depan mata, Soekarno hanya bisa meratapi nasibnya.
Sementara orang-orang di sekitarnya makan besar dan saling memberi hadiah.
“Orang-orang makan besar dan memberi hadiah. Tapi kami tak pernah makan besar atau pun memberi hadiah. Karena kami tidak punya uang.”
Baca Juga: Jarang Diketahui, Ini Cara Arab Saudi Rayakan Lebaran Sebelum Pandemi!
Anak-anak di masanya juga biasa main petasan, tapi tidak untuk Soekarno.
Soekarno lantas menceritakan bagaimana dia harus menghabiskan Lebaran di kamar sempit semasa kecilnya.
“Dengan pilu mengintip ke arah langit melalui tiga buah lubang udara yang kecil-kecil pada dinding bambu. Lubang udara itu berukuran sebesar batu bata,” ujar Soekarno mendeskripsikan kondisi tempat tidurnya.
Saat berada di dalam kamar, Soekarno kecil mendengar suara petasan yang meletus bersahutan.
Hatinya semakin tak karuan ketika ia dengar suara anak-anak kecil tertawa bersahutan di luar rumahnya.
Soekarno pernah mengadu ke ibunya, bagaimana nasib ini bisa menghampirinya.
Bagaimana bisa saat anak-anak lainnya menyalakan mercon, ia tidak?
"Dari tahun ke tahun aku selalu berharap, tapi tidak sekalipun aku bisa menyalakan mercon. Aku merasa begitu menyesal pada diriku sendiri,” tutur Soekarno.
Soekarno kecil beruntung, sebab pada malam setelah ia merenungi nasibnya, datanglah seorang tamu yang menemui bapaknya.
Sang tamu rupanya membawa bingkisan kecil dan selanjutnya diberikan kepada Soekarno.
Soekarno tak menyangka ia bakal diberi kado.
Tangannya gemetaran, perasaan bahagia membuncah menyesaki rongga dadanya.
Hampir tak sanggup membuka, akhirnya ia bisa melihat isi kado itu.
"Isinya petasan,” kenang Soekarno.
Bagi Soekarno kecil, ketika itu tak ada lagi hal di dunia yang mampu memberikan kebahagiaannya setara kado petasan.
Peristiwa ini juga terus membekas di benaknya.
“Aku tidak bisa melupakan peristiwa itu selama hidupku,” ucap Soekarno.
Dan berpuluh tahun kemudian, pria yang begitu mengagungkan petasan itu, menjadi presiden negara bernama Indonesia. (*)