Praktik pinjaman gelap yang dilakukan oleh China ini pun diprediksi bakal marak terjadi mengingat krisis ekonomi gegara pandemi virus corona.
"Mengingat risiko yang besar, syarat dan kondisi kontrak utang China menjadi kepentingan dunia internasional,” demikian lanjut para peneliti.
Baca Juga: Filipina Pergoki Bangunan Ilegal Milik China yang Berada di Pulaunya
Tapi tidak semua menyetujui anggapan bahwa Beijing adalah kreditur lalim. "Narasi ‘diplomasi jebakan utang' menggambarkan China sebagai kreditur yang jahat dan negara seperti Sri Lanka sebagai korban,” tulis Deborah Bräutigam dari Johns Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School, dalam sebuah artikel untuk The Atlantic.
Menurut kedua guru besar ilmu politik itu, pinjaman sering kali bersifat mendesak bagi negara berkembang.
Mereka mencontohkan Sri Lanka yang meminjam uang dari China untuk membenahi pelabuhan internasionalnya yang sudah usang.
"Ekspansi China ke luar negeri, serupa dengan program pembangunan domestiknya, lebih bersifat uji coba dan eksperimental, sebuah proses pembelajaran yang ditandai dengan koreksi yang konstan dilakukan.”
(*)