Sebab dalam terminologi negara demokrasi, kata Fahri, dinasti politik tidak akan ada.
"Dalam negara demokrasi tidak akan terjadi dinasti politik, sebab kekuasaan demokratis tidak diwariskan melalui darah secara turun temurun," kata Fahri.
"Tapi dia dipilih melalui prosesi politik, orang yang masuk prosesi politik itu, belum tentu menang dan belum tentu juga kalah," lanjutnya.
Lebih lanjut menurut Fahri, dinasti politik hanyalah sebuah simbol sepertipa yang terjadi di Inggris, dimana pemerintahan dibentuk melalui proses demokratis berdasarkan hasil pemilu.
"Suara rakyat disahkan oleh raja. Dinasti Windsor yang berkuasa di Inggris di kerangkeng hanya sebagai simbol saja," paparnya.
Fahri lantas mencotohkan kasus dinasti politik yang pernah terjadi di Indonesia, yakni saat kekuasaan diturunkan melalui darah seorang raja.
Seperti pada masa Kerajaan Mataram kuno yang dipimpin Syailendra, Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Mataram baru yang dipimpin Panembahan Senopati (Danang Sutawijaya).
Sedangkan di Indonesia sendiri, satu-satunya yang masih menerapkan dinasti politik adalah Yogyakarta, sisanya dilakukan melalui proses demokrasi berdasarkan keinginan rakyat.
"Kalau sekarang di Indonesia, satu-satunya dinasti politik yang tersisa, ya Dinasti Hamengkubowono di Yogyakarta sebagai kelanjutan Kerajaan Mataram baru.
"Itupun kekuasaanya disamakan dengan gubernur, harusnya dinasti itu dipertahankan sebagai kekuatan simbol saja, tidak perlu diberi kekuasaan yang bertanggungjawab publik," ujar Fahri.