Serta mengembangkan hubungan baik dengan negara-negara pesisir lainnya dan mengurangi China- Persaingan AS di wilayah yang disengketakan.
Namun dengan mengajukan Indonesia bergabung dengan SRMA, tampaknya Beijing belum mendengar pesan dari Jakarta.
Penerbitan serangkaian catatan diplomatik antara kedua negara baru-baru ini membuat jelas Indonesia waspada terhadap niat China, dan memang demikian.
Indonesia tidak boleh melibatkan proposal apa pun dari Beijing terkait dengan pembangunan bersama di Laut China Selatan.
Posisi Indonesia jelas bahwa ia bukan penggugat atas fitur apa pun di Laut China Selatan, sehingga tidak ada batasan maritim yang tertunda dengan China.
Meskipun demikian, China secara sepihak bersikeras bahwa zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan landas kontinen di lepas pantai Pulau Natuna tumpang tindih dengan klaim China yang disebut "sembilan garis putus-putus".
Indonesia secara konsisten menolak klaim China.
Putusan pengadilan internasional tahun 2016, yang menegaskan bahwa "garis sembilan garis putus-putus" China tidak memiliki dasar hukum internasional yang mendukung posisi Indonesia.
Untuk alasan ini saja, tidak ada dasar bagi Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian pembangunan apapun dengan China.
Namun lebih dari itu, untuk menciptakan pembangunan bersama di wilayah yang disengketakan, China diharuskan memiliki klaim yang sah berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).