Sosok.ID - Pasangan muda ini masih dalam suasana berkabung setelah buah hati mereka meregang nyawa sesaat setelah dilahirkan.
Pengalaman yang tak bakal dilupakan oleh pasangan suami istri ini memang sangat pahit.
Hal itu terjadi lantaran aturan mengenai rapid test yang menurut mereka kurang disosialisasikan.
Gusti Ayu Arianti (23) tak pernah menyangka akan kehilangan jabang bayi dalam kandungannya saat setelah dilahirkan.
Apa yang dialaminya tersebut membuat wanita muda tersebut terpukul.
Ditambah lagi pengalaman buruk ini lantaran penanganan medis yang menurutnya terlambat hingga mengakibatkan ia gagal melahirkan anaknya dengan selamat.
Warga Pejanggik, Kota Mataram tersebut sebenarnya telah merencanakan persalinan di salah satu rumah sakit di kota tersebut.
Namun saat tiba waktunya bersalin, dan ia dibawa oleh sang suami ke rumah sakit, hal tak terduga terjadi.
Sebelum penanganan medis dilakukan pada dirinya yang sudah akan melahirkan tersebut, ia harus menjalani rapid test.
Hal itu dikatakan sudah menjadi tata cara di rumah sakit tersebut sebelum tenaga medis menangani pasien yang baru saja datang.
Tetapi keadaan yang dialami oleh perempuan berusia 23 tahun tersebut berbeda kala itu.
Ia sudah mengalami pendarahan dan pecah ketuban.
Sedikit saja terlambat penanganannya, makan jabang bayi di dalam kandungannya akan tak terselamatkan.
"Ketuban saya sudah pecah, darah saya sudah banyak yang keluar dari rumah, tapi saya tidak ditangani, kata petugas saya harus rapid test dulu," kata Arianti yang dikutip dari Kompas.com, Rabu (19/8/2020) malam.
Arianti dan suaminya, Yudi Prasetya (24) pun baru tahu mengenai peraturan tersebut saat berada di rumah sakit.
Hal itulah yang menjadi sebab bayi dari Arianti tersebut terlambat ditangani hingga harus meregang nyawa.
Menurut pasangan muda ini, keduanya tak tahu menahu mengenai peraturan rapid test sejak pemeriksaan kandungan.
"Saya itu kecewa, kenapa prosedur atau aturan ketika kami akan melahirkan tidak diberitahu bahwa wajib membawa hasil rapid test," kata Arianti.
Menurutnya, tak semua ibu hamil yang hendak melahirkan mengetahui aturan tersebut.
"Ibu-ibu yang akan melahirkan kan tidak akan tahu ini, karena tidak pernah ada pemberitahuan ketika kami memeriksakan kandungan menjelang melahirkan, " kata Arianti.
Menurut Arianti, aturan itu tak akan memberatkan jika diberitahu sejak awal.
Dirinya pun akan menyiapkan dokumen hasil rapid test beberapa hari sebelum melahirkan.
Kejadian yang dialami olehnya tersebut terjadi pada hari Selasa (18/9/2020) pagi hari.
Arianti bersama suami dan ibunya, Jero Fatmawati, berangkat menuju RSAD Wira Bhakti Mataram.
Mereka memilih rumah sakit itu karena putri pertamanya juga lahir di sana.
Tiba di rumah sakit, perut Arianti semakin sakit. Ia meminta petugas jaga di RSAD segera menanganinya.
"Saya juga lapor kalau ketuban saya pecah dan ada banyak darah, " katanya.
Namun, karena tak ada fasilitas tes cepat, petugas memintanya melakukan rapid test di luar rumah sakit.
"Mereka bilang tidak ada fasilitas rapid test, tapi tidak menyarankan saya rapid test di laboraturium karena akan lama keluar hasilnya," kata Arianti.
Petugas jaga itu, kata Arianti, menyarankan dirinya melakukan rapid test Covid-19 di puskesmas terdekat.
"Mereka minta saya ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal saya, padahal saya sudah memohon agar dilihat kondisi kandungan saya, bukaan berapa menuju proses kelahiran, mereka tidak mau, katanya harus ada hasil rapid test dulu, " kata Arianti sedih.
Padahal menurutnya, petugas bisa saja menangani dirinya yang bersalin tersebut menggunakan alat pelindung diri (APD) lantaran keadaannya mendesak.
Meski demikian tetap saja Arianti tak bisa apa-apa dan harus kembali ke puskesmas untuk menjalani rapid test.
Saat berada di puskesmas pun Arianti yang telah meringik kesakitan meminta dokter yang bertugas untuk memeriksa kandungannya.
"Saya bilang waktu itu, dokter bisa tidak minta tolong, bisa tidak saya diperiksa, kira-kira sudah bukaan berapa, apakah saya akan segera melahirkan soalnya sakit, saya bilang begitu. Dokternya tanya, tadi sudah keluar air dan darah, dia bilang belum waktunya tanpa memeriksa saya, saya diminta tunggu hasil rapid test dulu," kata Arianti.
Ia pasrah jika sampai melahirkan di puskesmas.
Karena tidak tahan, Arianti pulang mengganti pembalut dan meminta ibunya menunggu hasil rapid test di Puskesmas Pagesangan.
Keluarganya pun meminta surat rujukan agar bisa ditangani di RSAD Mataram.
Tapi, petugas tak bisa mengeluarkan surat rujukan karena Arianti yang sedang mengganti pembalut tak ada di puskesmas.
Kepala Rumah Sakit ( Karumkit) RSAD Wira Bhakti Kota Mataram Yudi Akbar Manurung tak bisa memberikan penjelasan rinci terkait kasus itu.
Namun, Yudi membenarkan, Arianti mengunjungi RSAD Wira Bhakti saat itu.
"Memang awalnya pasien ini ke RSAD, kemudian ke puskesmas kemudian persalinannya di Rumah Sakit Permata Hati, pasien sempat menjelaskan ada cairan yang keluar, masih pada tahap konsultasi belum melakukan pemeriksaan," kata Yudi saat dikonfirmasi, Kamis (20/8/2020).
"Petugas kami menjelaskan, karena yang bersangkutan pasien umum, rapid test-nya berbayar, tapi kalau yang gratis di puskesmas dan RSUD Kota Mataram, kita sampaikan begitu dan tidak ada masalah, akhirnya dia ke puskesmas, dari puskesmas kemudian memilih ke Rumah Sakit Permata Hati," jelasnya.
Mengutip dari Kompas.com, Kepala Dinas Kesehatan NTB Eka Nurhandini menjelaskan, rapid test wajib bagi ibu hamil yang hendak melahirkan.
Hal itu diberlakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
"Memang dari satgas covid-19 ada surat edaran yang mengatakan bahwa direkomendasikan ibu-ibu yang akan melahirkan melakukan rapid test, karena apa, ibu hamil itu adalah orang yang rentan, yang kemungkinan tertular itu adalah ibu hamil," kata Eka.
Selain itu, rapid test Covid-19 diperlukan untuk menentukan ruangan yang akan digunakan dan APD yang dipakai petugas saat menangani ibu hamil tersebut.
Jika hasil rapid test reaktif, ibu hamil harus dirawat di ruang isolasi, dipisahkan dari pasien lain.
"Kenapa diminta periksa di awal, karena persiapan dan kesiapan untuk proses kelahiran itu lebih prepare, jika reaktif ibu dan anak akan masuk ruang isolasi, petugas juga begitu akan mengunakan APD dengan level yang tinggi untuk perlindungan bagi petugas," kata Eka. (*)