Sosok.ID - Laut China Selatan kini sedang memanas setelah sejumlah kekuatan militer dunia beradu di perairan padat tersebut.
Namun ternyata kini, konfrontasi antar dua negara berkekuatan militer besar, AS vs China kini dikabarkan berpindah haluan.
Bukan lagi pertarungan di laut, namun perseteruan berpindah ke sungai besar yang melintasi beberapa negara di Asia ini.
Sungai Mekong dikenal sungai yang luas dan panjang yang melintas dari China sampai ke Vietnam.
Setidaknya ada lima negara di Asia Tenggara yang dilintasi oleh sungai besar tersebut.
Antara lain, Laos, Myanmar, Thailand, Kamboja. hingga Vietnam dilintasi oleh sungai besar tersebut.
Sekitar 60 juta penduduk di enam negara termasuk China bergantung pada aliran air sungai tersebut.
Namun ternyata fakta baru terbongkar bahwa China kini memanipulasi sungai tersebut dengan berbagai cara.
Pakar aktivis lingkungan dan sejumlah pejabat mengatakan bahwa China dan AS saling berebut pengaruh di berbagai negara yang dilalui oleh aliran sungai tersebut.
Melansir dari Reuters, konfrontasi antar dua negara itu beralih dari Laut China Selatan ke Sungai Mekong saat ini.
Pemerintah AS dan China masing-masing menggembar-gemborkan laporan yang berbeda tentang apakah 11 bendungan China di sungai merugikan negara-negara di hilir.
Perhatian kini pun dituju pada bendungan-bendungan China yang ternyata memberi kendali luas atas perairan dari Tiongkok sampai ke Vietnam.
Baca Juga: Amerika Ketakutan, Rusia Buat Sistem Senjata Kiamat yang Bisa Musnahkan Dunia
Kontrol itu memungkinkan Cina untuk menetapkan agenda pembangunan yang terkait dengan jalur air, dan mengecualikan AS dari peran setelah berpuluh-puluh tahun mempromosikan proyek-proyek Mekong sebagai cara untuk mengerahkan pengaruhnya di wilayah tersebut.
"Ini menjadi masalah geopolitik, seperti Laut China Selatan, antara AS dan China," kata Witoon Permpongsacharoen dari Mekong Energy and Ecology Network.
Tahun lalu, Sungai Mekong mengalami kekeringan dengan tingkat sungai Mekong terendah dalam beberapa dekade.
Seorang duta besar AS di wilayah tersebut menggambarkan China sebagai "menimbun" air di 11 bendungannya di bagian atas dari sungai sepanjang 4.350 km (2.700 mil), dan merusak mata pencaharian jutaan orang di negara-negara hilir.
Tak hanya itu saja, China juga meningkatkan kegiatan kelompok Kerja Sama Lancang Mekong (LMC), sebuah badan antar pemerintah yang relatif baru sebagai upaya untuk mengesampingkan komisi Sungan Mekong (MRC) yang sudah ada sejak 25 tahun lalu.
MRC melacak asal-usulnya kembali ke upaya AS untuk mempromosikan pembangunan selama Perang Dingin.
MRC bekerja sama dengan pemerintah Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam untuk mendorong pembagian dan pembangunan berkelanjutan dari sungai dan sumber dayanya.
Mengutip dari Reuters, Kementerian Luar Negeri China menuding AS mencoba menyalahkan Beijing atas kendali sungai besar tersebut.
"Negara-negara di luar kawasan itu harus menahan diri untuk tidak menimbulkan masalah," kata kementerian itu.
Penelitian oleh Eyes on Earth, sebuah perusahaan riset dan konsultan yang berbasis di AS yang berspesialisasi dalam air, membangun sebuah model prediksi berdasarkan pencitraan satelit dan data MRC yang dikatakannya menunjukkan air yang hilang di hilir, mulai sekitar 2010.
Duta Besar AS untuk Kamboja Patrick Murphy mengatakan dia “cukup terkejut” pada temuan yang jelas itu.
"Untuk mengetahui bahwa sumber utama untuk tingkat Mekong yang berkurang, dan perubahan Mekong di wilayah Mekong Bawah, adalah apa yang terjadi di hulu di China dengan dasarnya penimbunan air," kata Murphy.
Baca Juga: 3000 Rudal Ditembakkan China Sebagai Sinyal Kepada Amerika Jika Beijing Siap Perang
Tudingan itupun membuat China naik pitam hingga Kedutaan Besar China di Thailand mengecam studi tersebut.
Kecaman itu disebutnya sebagai "bermotivasi politik, yang bertujuan menargetkan China dengan niat buruk".
Pekan lalu, Global Times China menerbitkan sebuah artikel tentang studi Cina yang membantah laporan Eyes on Earth.
“Bendungan sungai di China membantu meringankan kekeringan di sepanjang Lancang-Mekong," demikian judul di surat kabar yang diterbitkan People's Daily, surat kabar resmi Partai Komunis China yang berkuasa. (*)