"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - 'Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?' - begitu di Sumba Timur."
"Kalau di Sumba Barat - 'Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?' - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans kepada BBC News Indonesia via telepon (5/7/2020).
Setelah pertanyaan itu dijawab, lanjut Frans, baru prosedur peminangan resmi dimulai, termasuk pembahasan tanggal pernikahan dan penyerahan belis. Tradisi belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita sebelum melangsungkan pernikahan.
Penyerahan belis tersebut dapat berupa hewan ternak seperti kerbau, kuda maupun mamuli (perhiasan), dan sarung kain tradisional.
Menurut Frans, 'kawin tangkap' adalah sebuah praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.
Ia berpandangan bahwa para tokoh adat maupun pihak berwenang tidak tegas dalam menanggapi praktek itu, sehingga terus berulang.
"Sampai sekarang tidak ada hukumnya. Hanya hukum sosial, dalam artian bahwa orang yang kawin seperti itu akan diomongin, hanya itu saja. Untuk memberatkan supaya jangan berlaku, itu tidak ada."
"Makanya saya sarankan, kalau perlu, mereka ini diberi denda misalnya 10 ekor kerbau untuk memberatkan dia sehingga ada rasa ketakukan sedikit," kata pengamat budaya yang berdomisili di Waingapu itu.
Meski demikian, sebagian orang memandang 'kawin tangkap' memang budaya tradisional setempat, seperti pengalaman Citra.