" Kawin tangkap ini hanya menghasilkan kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, secara fisik, seksual, psikis, belum lagi stigma kalau ia keluar dari perkawinan yang dia tidak inginkan.
"Begitu berlapis 'pemerkosaan', dalam tanda kutip, yang dialami oleh perempuan, sehingga hal ini harus dihentikan karena sangat mencederai kemanusiaan, harkat dan martabat perempuan," kata Aprissa melalui telepon, Selasa (7/7/2020).
'Kawin tangkap' baru-baru ini ramai dibicarakan warganet setelah sebuah video yang viral pada akhir Juni memperlihatkan seorang perempuan dibawa secara paksa oleh sekelompok pria di Sumba.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menanggapi video itu dengan mengatakan bahwa kasus penculikan merupakan salah satu bentuk kejahatan dan pelecehan terhadap adat perkawinan yang sakral dan mulia.
Bintang juga memutuskan untuk mengunjungi Kota Waingapu di Sumba Timur untuk menghadapi masalah tersebut, termasuk mengadakan diskusi bersama masyarakat setempat dalam upaya untuk mengakhiri praktik 'kawin tangkap'.
Dalam kunjungan pada pekan lalu itu, Bintang menghadiri penandatanganan kesepakatan pemerintah daerah pada tingkat kabupaten dan provinsi yang menolak 'kawin tangkap' adalah budaya Sumba. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.
"Kita sudah mendengar dari tokoh adat, tokoh agama, bahwa kawin tangkap yang viral itu, bahwa di sini, bukan budaya Sumba. Itu menjadi kata kunci," kata Bintang saat di kota Waingapu, kepada BBC News Indonesia, Kamis (2/7/2020).
"Terkait dengan kesepakatan bersama, yang sudah ditandatangani, itu tidak hanya berakhir di sini," tambahnya. Namun, ia tidak merinci upaya konkret yang akan dilakukan.
'Bukan budaya turun-temurun'
Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi, menjelaskan bahwa kawin tangkap bukan budaya murni Sumba yang diwariskan secara turun-temurun.