“Pasien Covid harus dirawat 14 hari, maka minimal alat saya harus mampu bertahan 14 hari. Tapi begitu dicoba, hanya tahan 2 hari 2 malam. Saya perbaiki, ganti material, eh 12 jam rusak. Nangislah saya, gimana bisa nolong orang,” tutur dia.
Namun ia tak menyerah hingga akhirnya alat penafasan buatannya it lolos uji semua kriteria sesuai standar SNI IEC 60601-1:204: Persyaratan Umum Keselamatan Dasar dan Kinerja Esensial dan Rapidly Manufactured CPAP Systems, Document CPAP 001, Specification, MHRA, 2020.
Vent-I menggunakan mesin ventilator Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) agar mudah dioperasikan baik oleh dokter ataupun perawat, bahkan Vent-I bisa dibawa pulang.
Meski di dunia internasional harga ventilator berkisar Rp 30 juta - Rp 70 juta, namun Syarif bisa membuat Vent-I nya hanya seharga Rp 18 juta saja.
“Vent-I juga sudah dipatenkan, dari 8 ada 5 yang sudah dipatenkan,” ucap dia.
Setiap malam, ia hanya tidur sekitar 4 jam. Waktunya lebih banyak digunakan untuk pengembangan Vent-I.
Dalam perkembangannya, beberapa ruangan di Salman ITB diubah menjadi bengkel Vent-I.
Mulai dari ruang serba guna, kelas, hingga kantin. Sejumlah kampus pun ikut membantu, seperti ITB, Unpad, Polman, Polban, sejumlah SMK, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan lainnya.
Gegara usahanya tak menyerah ikut andil bagian menyelesaikan masalah pandemi covid-19 itu membuat masyarakat termasuk kawan-kawannya terketuk hatinya untuk menyumbang hingga dana itupun akhirnya terkumpul sebanyak Rp 10 miliar lebih untuk membuat alat ventilator. (*)