Selain itu, ia juga mempresentasikan temuannya ke beberapa pemerintah daerah.
Tapi bukan berarti input-input yang diberikan Pandu langsung diterima oleh pemerintah.
"[Memberikan input kepada pemerintah] ini tantangan besar untuk saya, terutama bagaimana menerjemahkan penemuan akademis menjadi sebuah kebijakan," tutur Pandu.
Selain soal mengkomunikasikan hasil temuan akademis, menurut Pandu kesulitan lainnya ada pada struktur dalam pemerintah itu sendiri.
"Para pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami."
Ia kemudian mencontohkan bagaimana ia harus mencari dan berhadapan dulu dengan staf ahli sebelum bisa memberikan masukan kepada presiden.
"Pernah saya minta dikenalkan dengan stafnya, sudah bertemu tapi ternyata ia tidak peduli. Jadi kita harus strategis memilih segmen target policy makers," tutur Pandu.
Upaya yang dilakukan Pandu ini menunjukkan bukan hanya sulitnya memberikan masukan kepada pemangku kebijakan, tapi juga bahwa tidak ada usaha yang sistematis dalam melibatkan para akademisi di Indonesia.
"Harusnya sejak awal itu melibatkan semua perguruan tinggi. Harusnya LIPI berfungsi, Kemenristek dan Dikti juga [harusnya] berfungsi menghimpun masukan dari akademisi," kata Pandu.
Selain Pandu, ada juga akademisi lain yang berbicara kepada ABC dan mengeluhkan reaksi pemerintah saat ia mempresentasikan riset ilmiahnya terkait COVID-19.