Follow Us

Jokowi Dinilai Lelet Tangani Corona, Penanganan Covid-19 Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara

Seto Ajinugroho - Rabu, 20 Mei 2020 | 14:13
Jokowi Dinilai Lelet Tangani Corona, Penanganan Covid-19 Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara
Tribunnews/Irwan Rismawan

Jokowi Dinilai Lelet Tangani Corona, Penanganan Covid-19 Indonesia Terburuk Se-Asia Tenggara

Sosok.ID - Memang kurang menyenangkan mendengar berita mengenai corona di tanah air.

Bahkan di internet beberapa waktu lalu sempat beredar video ada seorang laki-laki yang membanting televisinya gegara jengkel setiap hari lihat berita mengenai corona.

Walau demikian tetap harus bangsa ini melawan corona.

Maka pemerintah bersama rakyat harus bersatu demi mengusir corona dari tanah air.

Baca Juga: Walau Sudah Berselingkuh dengan Jennifer Dunn, Faisal Haris Masih Nagih Jatah Kepada Sarita Abdul Mukti

Melansir Wartakotalive.com, kebijakan untuk penanganan covid-19 di Indonesia bahkan disebut yang terburuk di Asia Tenggara.

Pasalnya, indikasi kematiannya yang berada di kisaran 7 persen, tertinggi di antara negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, yang sebagian besar sekitar 0-3 persen.

Ini bukan semata-mata akibat gaya kepemimpinan Presiden Jokowi, yang lambat merespons dan menunjukkan kurangnya pemikiran strategis, seperti yang banyak dikemukakan.

Baca Juga: Buang Kehidupan Mewah Sebagai Anggota Keluarga Terkaya di Indonesia, Cucu Bos Djarum Ini Pilih Mengabdikan Diri di Negara Paling Miskin di Asia, Tapi Merasa Bahagia Walau Hanya Memiliki Dua Set Pakaian

Kegagalan Indonesia disebutkan meliputi keengganan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada mereka yang membutuhkan, dugaan penggunaan dana bantuan Covid-19, sedikit akuntabilitas dalam kaitannya dengan penggunaan uang terkait Covid-19.

Tak hanya itu saja, dilansir dari laman abc.net.au, terdapat sejumlah kebingungan untuk melihat status pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini.

Pemerintah Pusat, Daerah, dan Ikatan Dokter Indonesia pernah memegang angka kasus yang berbeda.

Belum lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pada penerapannya banyak dilanggar, tetapi sudah ada rencana untuk segera dilonggarkan tanpa alasan jelas.

Para pakar sains dan ilmuwan merasa tidak dilibatkan pemerintah saat mengambil keputusan, sehingga jika ada pernyataan Indonesia sudah aman dari virus corona, itu pun tidak memiliki bukti ilmiah.

Padahal menurut Professor Jeremy Rossman, Presiden dan pendiri dari Research-Aid Networks, masalah pandemi virus corona menjadi lebih kompleks saat tidak cukup data dan fakta sains.

Pakar virus dari University of Kent, Inggris ini menjelaskan masalah yang kompleks mempengaruhi perilaku psikologi, sosial, bahkan ekonomi dari setiap warganya.

Baca Juga: Buang Kehidupan Mewah Sebagai Anggota Keluarga Terkaya di Indonesia, Cucu Bos Djarum Ini Pilih Mengabdikan Diri di Negara Paling Miskin di Asia, Tapi Merasa Bahagia Walau Hanya Memiliki Dua Set Pakaian

"Jadi saya rasa yang diperlukan adalah memisahkan apa yang kita ketahui dari apa yang kita duga," ujarnya kepada ABC.

Memberi masukan jadi 'tantangan besar' Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) yang merancang pemodelan COVID-19 di Indonesia adalah salah satu orang yang sejak awal sadar pentingnya sains dalam penanganan wabah corona.

Sejak virus corona di Wuhan merebak, ia sudah mulai mempelajarinya sebagai langkah antisipasi bila virus ini masuk ke Indonesia.

Yanuar Nugroho, seorang akademisi Indonesia mengatakan ada kesan pemerintah tidak serius sejak awal mewabahnya virus corona.

"Sejak bulan Januari kami sudah expect [menduga kasus corona ada di Indonesia] dan kesal juga, kok laporan [kasusnya] negatif terus. Denial [penyangkalan] pemerintah saat itu juga luar biasa tingginya," kata Pandu kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Sikap menganggap enteng virus corona yang dipertontonkan pejabat Indonesia mendorong Pandu untuk giat meneliti wabah corona jika sewaktu-waktu pemerintah memerlukan bantuan.

Pandu dan sejawatnya kemudian membuat pemodelan terkait lonjakan pasien jika kita tidak ada intervensi yang serius, yang akhirnya dipakai oleh BAPPENAS untuk mengestimasi kebutuhan rumah sakit.

Baca Juga: Gayung Bersambut, Nikita Mirzani Iseng Tawarkan Diri Jadi Istri, Penyanyi Tampan Ini Siap Terima Nyai Sebagai Jodohnya : Gua Bawa ke Jalan yang Bener

Selain itu, ia juga mempresentasikan temuannya ke beberapa pemerintah daerah.

Tapi bukan berarti input-input yang diberikan Pandu langsung diterima oleh pemerintah.

"[Memberikan input kepada pemerintah] ini tantangan besar untuk saya, terutama bagaimana menerjemahkan penemuan akademis menjadi sebuah kebijakan," tutur Pandu.

Selain soal mengkomunikasikan hasil temuan akademis, menurut Pandu kesulitan lainnya ada pada struktur dalam pemerintah itu sendiri.

"Para pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami."

Ia kemudian mencontohkan bagaimana ia harus mencari dan berhadapan dulu dengan staf ahli sebelum bisa memberikan masukan kepada presiden.

"Pernah saya minta dikenalkan dengan stafnya, sudah bertemu tapi ternyata ia tidak peduli. Jadi kita harus strategis memilih segmen target policy makers," tutur Pandu.

Baca Juga: Gayung Bersambut, Nikita Mirzani Iseng Tawarkan Diri Jadi Istri, Penyanyi Tampan Ini Siap Terima Nyai Sebagai Jodohnya : Gua Bawa ke Jalan yang Bener

Upaya yang dilakukan Pandu ini menunjukkan bukan hanya sulitnya memberikan masukan kepada pemangku kebijakan, tapi juga bahwa tidak ada usaha yang sistematis dalam melibatkan para akademisi di Indonesia.

"Harusnya sejak awal itu melibatkan semua perguruan tinggi. Harusnya LIPI berfungsi, Kemenristek dan Dikti juga [harusnya] berfungsi menghimpun masukan dari akademisi," kata Pandu.

Selain Pandu, ada juga akademisi lain yang berbicara kepada ABC dan mengeluhkan reaksi pemerintah saat ia mempresentasikan riset ilmiahnya terkait COVID-19.

Baca Juga: Dita Karang, Catat Sejarah Jadi Orang Indonesia Pertama yang Berkarier di K-Pop, Ternyata dari 5 Anggota Hanya Dita yang Jadi Sorotan Media Korea Selatan!

Menurutnya, para pejabat yang mengundangnya cenderung mencari model dan angka yang "cocok" untuk mereka, tanpa peduli dasar ilmu yang ia jelaskan.

"Begitu melihat angka saya, mereka protes, 'angkanya nggak cocok'. Saya jadi bingung, angka ini bukan soal cocok-cocokan. Ini ada hitungan ilmiahnya," ujar peneliti yang tidak ingin disebutkan namanya ini.

Peristiwa yang dialaminya ini membuat ia berkecil hati dan sangsi, apakah pemerintah mau mendengar dan menjadikan sains sebagai rujukan dalam pembuatan kebijakan. (Desy)

Artikel ini pernah tayang di Grid Hot dengan judul "Kebijakan Pemerintah Indonesia Hadapi Corona Terburuk di Asia Tenggara, Peneliti Ungkap Kekesalannya Karena Pejabat Lebih Dengarkan Staf Ahli, Bukan Akademisi: Ini Ada Hitungan Ilmiahnya"

Source : Grid Hot

Editor : Seto Ajinugroho

Baca Lainnya

Latest