Untuk setiap barang dagangannya yang terjual, Mbah Hawati hanya mendapat untung sebesar Rp 200.
Ia kemudian menceritakan awal mula perjuangannya mengadu nasib di Kota Surabaya.
"Tahun berapanya saya lupa. Pokoknya pas itu awal nikah sama suami, saya langsung dibawa ke Surabaya," kenang Mbah Hawati.
Sejak saat itu lah ia berjualan dengan cara menyunggih dagangannya di atas kepala.
"Itu saya jualan es dawet," terang Mbah Hawati.
Namun, di tahun 2005, Mbah Hawati harus berjuang sendirian karena sang suami meninggal dunia.
Selang lima tahun kemudian, ia memilih untuk mengganti cara berjualan dengan mendorong gerobak.
Dengan cara itu, ia berharap dapat keliling lebih jauh untuk menjajakan dagangannya.
"Ya Alhamdulillah muternya saya bisa lebih jauh sekarang," ucap Mbah Hawati.