Sosok.ID - Berusia 54 tahun, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), masih menjadi kontroversi.
Surat yang mengantarkan Soeharto pada penggulingan kekuasaan Presiden Pertama RI, Soekarno ini, masih menyimpan segudang misteri.
Sejarah menandai Supersemar sebagai surat yang mengawali pengalihan kepemimpinan pemerintahan Orde Lama (Orla) ke Orde Baru (Orba).
Ia bahkan dianggap sebagai surat sakti yang menuntun keabsahan pemerintahan Soeharto.
Namun, benarkah Soekarno serta merta memberikan Supersemar dan merelakan kekuasaannya digulingkan?
Melansir Kompas.com edisi 10 Maret 2016, terdapat tiga kontroversi yang muncul terkait Supersemar.
Pertama mengenai keberadaan naskah otentik Supersemar, kedua cara mendapatkan surat itu, dan terakhir mengenai interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto.
Lebih dari setengah abad, pengungkapan misteri seputar Supersemar dianggap masih menemui jalan buntu.
Sebab naskah asli dari surat perintah tersebut, tak diketahui keberadaannya.
Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, tiga versi naskah Supersemar yang disimpan Arsip Nasional Republik Indonesia, tidak ada yang otentik.
Baca Juga: Kisah Soekarno Ditodong Pistol untuk Memaksanya Tandatangani Supersemar
"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi, Kamis (10/3/2016), seperti dikutip Sosok.ID, dilansir dari Kompas.com, Rabu (11/3/2020).
Bersamaan dengan raibnya surat maha penting itu, spekulasi pun bermunculan.
Masyarakat bertanya-tanya tentang wujud surat itu, dan apa tujuan sebenarnya dari dilayangkannya surat perintah tersebut.
Mengutip "Arsip Supersemar 1966" yang diterbitkan Kompas.com pada 10 Maret 2015 lalu, tertulis:
Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu.
Namun tiga versi yang disimpan Arsip Nasional RI, justru menambah keragu-raguan masyarakat soal: mana yang asli?
Spekulasi lain bermunculan, Soekarno disebut-sebut tak benar-benar mau memberikan Supersemar.
Surat perintah itu turun akibat tekanan dan paksaan.
"Sebelum 11 Maret 1966, Seokarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto," tulis Kompas.com berdasarkan penjelasan Asvi.
Bujukan tersebut ditolak oleh Bapak Proklamator Indonesia. Soekarno bahkan sempat marah hingga melempar asbak.
Baca Juga: Dandim Mimika Buru KKB yang Tembaki Markasnya : Pelaku Penembakan Tetap Akan Kami Cari
"Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.
Jatuh di tangan Soeharto, Supersemar digunakan dengan serta merta dalam aksi beruntun sepanjang Maret 1966.
Pembubaran PKI, penangkapan 15 menteri pendukung Soekarno, pemulangan anggota Tjakrabirawa, kontrol media massa di bawah Puspen AD, merupakan hal-hal yang Soeharto lakukan atas nama Supersemar.
Sementara bagi Soekarno, surat tersebut ditujukan untuk pengendalian keamanan.
Tak terkecuali, keamanan bagi dirinya sendiri dan keluarga, selaku Presiden RI.
Ia bahkan menegaskan, bahwa kelahiran Supersemar bukanlah transfer of authority.
Namun, jenderal pembawa Supersemar dari Bogor ke Jakarta, Amirmachmud berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
Adapun dalam buku “Kontroversi Sejarah Indonesia” (Syamdani halaman 189), dikutip dari Kompas.com, diceritakan bahwa Letnan Dua Soekardjo Wilardjito, menyaksikan Bung Karno menandatangani Supersemar pada 11 Maret 1966 dibawah todongan pistol FN kaliber 46.(Rifka/Sosok.ID)