Padahal kebutuhannya hanya sekitar 6.000 orang.
Banyak rute yang tidak produktif, sepi penumpang tetapi dibiarkan bertahun-tahun.
Citra pelayanannya buruk, sering delay tanpa pemberitahuan.
Sehingga Garuda diplesetkan sebagai "Garuda Always Reliable Until Delay Announced".
“Singkatnya, Garuda telah salah urus,” tulis Rhenald.
Menurut Roby Djohan dalam bukunya, "The Art of Turn Around", manajemen Garuda tidak pernah diurus secara profesional; pengangkatan CEO tidak berdasarkan keahlian manajerial, keputusan-keputusan strategis tidak diambil oleh direksi tapi oleh siapa saja dari Cendana, BPPT, Menteri Perhubungan, atau Menteri Keuangan.
Akibatnya, banyak kontrak aneh.
Misalnya, pesawat Airbus 330 disewa dengan harga 1,2 juta dolar padahal hasilnya paling tinggi 800 ribu dolar.
Belum lagi perilaku para direksi sebelumnya yang mencampuradukkan keperluan bisnis dengan keperluan pribadi.
Pada hari-hari pertama kerja, Robby disambut dengan demonstrasi karyawan Garuda.