Seorang anggota tim HOCRU YOSL-OIC memeriksa orangutan sumatera bernama Paguh usai dibius untuk dievakuasi dari perkebunan kelapa sawit di Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan. Orangutan ini sebelumnya hanya bisa berjalan di tanah dan tangannya menggapai-gapai karena buta. Orangutan ini sekarang berada di Pusat Karantina Orangutan di Batu Mbelin, Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.
Lokasi penemuan Paguh sebenarnya tak jauh dari Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang menjadi habitat orangutan Sumatera di wilayah Aceh Selatan.
Wilayah tersebut menjadi habitat bagi lebih dari 1.300 orangutan Sumatera.
"Ada beberapa tempat yang terjadi deforestasi, pembukaan lahan perkebunan sehingga beberapa orangutan terdesak harus keluar dari habitat alaminya, sehingga tersesat di dalam kebun," katanya.
Selanjutnya, terjadilah banyak interaksi dengan manusia. Menurutnya, istilah konflik sedikit radikal karena sebenarnya orangutan kehilangan habitatnya mendapatkan interaksi yang sangat frontal. "Sehingga ada beberapa masyarakat yang melihatnya sebagai hama dan satwa menakutkan, tidak ada toleransi," katanya.
Apa yang dialami Paguh bukan kasus pertama, dokter hewan Citrakasih Nente Supervisor Program Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan YEL-SOCP mengatakan, dia pernah menerima orangutan dengan 100 butir lebih peluru di tubuh.
Sepanjang sepuluh tahun terakhir, YEL-SOCP sudah menerima sekira 20 orangutan korban senapan angin.
Paguh adalah jenis Pongo abelii yang berbeda dengan Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus) dan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanulienses) yang habitatnya berada di ekosistem Batangtoru, Sumatera Utara.
Saat ini, ketiga spesies tersebut masuk daftar merah atau sangat terancam punah oleh International Conservation Union (IUCN).
Jumlah populasi di alam liar diperkirakan tinggal 13.400 untuk orangutan Sumatra dan 800-an orangutan Tapanuli. (*)