Follow Us

Perjuangan Pengusaha Bumbu Olahan Daging, Sempat Bangkrut dan Jadi Pedagang Asongan, Kini Raup Omzet Puluhan Juta

Dwi Nur Mashitoh - Minggu, 11 Agustus 2019 | 16:45
Bumbu rendang paling laris di antara semua jenis bumbu pada musim Lebaran Haji di Hari Raya Idul Adha 1440 H/2019 ini. Salah satu pegawai di Gubug Ndeso menunjukkan bumbu rendang kemasan sebagai salah satu bumbu yang paling laris dicari.
KOMPAS.com/DANI JULIUS

Bumbu rendang paling laris di antara semua jenis bumbu pada musim Lebaran Haji di Hari Raya Idul Adha 1440 H/2019 ini. Salah satu pegawai di Gubug Ndeso menunjukkan bumbu rendang kemasan sebagai salah satu bumbu yang paling laris dicari.

Sosok.id - Sempat hampir mengalami depresi karena bangkrut setelah ditipu investasi abal-abal, kini Supri Astuti berhasil meraih omzet puluhan juta.

Sedikitnya ada 400 bumbu rendaman daging yang diproduksi di dapur rumah yang berada di Dusun Kedunggalih, Desa Pengasih, Kecamatan Pengasih, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.

Produksi bumbu sebanyak itu untuk memenuhi permintaan bumbu untuk beberapa hari ke depan.

Tutik, sapaan akrab Supri Astuti,menjadi salah satu orang yang mendapatkan rezeki lebih di lebaran Idul Adha.

Pasalnya, masyarakat, khususnya umat muslim, akan membagikan daging hasil penyembelihan hewan kurban.

Baca Juga: Kisah Al, Menabung untuk Beli Hewan Kurban Sejak Usia 7 Tahun dan Bercita-cita Pergi Umrah Pakai Uang Sendiri

Melansir dari Kompas.com, saat ditemui, Tutik sedang meracik bumbu untuk rendaman daging yang hendak dijadikan sate.

Bumbu itu terdiri dari daun salam, daun jeruk, ketumbar, bunga lawang atau pekak, kapulaga, serai, cengkih, hingga laos.

“Biar bau daging seperti bau prengus itu bisa hilang," kata Tutik, mengutip dari Kompas.com Sabtu (10/8/2019).

Di dapur kecilnya itu, Tutik menceritakan, ia sedang giat memproduksi bumbu-bumbu untuk membuat gule, tongseng, opor, rawon, bestik, sate, soto, hingga rica-rica.

Tak lupa, bumbu rendang yang paling laris di pasaran.

Bahkan, untuk memnuhi permintaan pasar, wanita 43 tahun ini memproduksi setidaknya 4.000 bungkus plastik bumbu rendang.

Baca Juga: Kisah Inspiratif Nenek Sahnun, Kumpulkan Uang Rp 10 Juta Hasil Mulung Selama 5 Tahun untuk Berkurban, Hingga dapat Hadiah Umrah Gratis

Selain itu, bumbu tongseng juga ia buat lebih banyak, yaitu 1.500 bungkus.

“Kami menjual sebanyak 10.000 bungkus bumbu di Idul Adha tahun ini, lebih banyak dibanding tahun lalu yang 7.000 bungkus,” kata Tutik.

Harga satu bungkus plastik bumbu buatannya, ia mematok harga Rp 5.000.

Ia mendistribusikan bumbu-bumbunya ke pasar-pasar tradisional.

Baik di dalam Kota Wates maupun kota-kota di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Kulon Progo.

Orang-orang pasar biasa menjual bumbunya dengan harga Rp 6.000 untuk satu bungkusnya.

Sedangkan, untuk COD (cash on delivery) atau diantar hingga rumah, harga per bungkusnya bisa mencapai Rp 8.000.

Baca Juga: Ching Shih, dari Prostitusi hingga Menjadi Perompak Wanita Terhebat Sepanjang Sejarah, Kuasai Hingga 1800 Kapal

Tutik mengaku telah memulai bisnisnya sejak 2004 lalu.

Ia meyakini bahwa kunci yang membuatnya bisa bertaha dan berkembang sampai sekarang ada pada bahan baku dan racikan bumbu yang dibuatnya.

Seperti, saat ia membuat bumbu rendang, ia menggunakan cardamon atau kapulaga india yang harganya mahal.

Namun, dengan adanya kapulaga tersebut, bumbunya memiliki cita rasa melayu yang khas.

Adapun, ia mendapatkan kapulaga itu dengan memesan secara khusus di Kulon Progo.

Menurut keterangan Tutik, bumbu buatannya itu dapat bertahan hingga seminggu atau sebulan jika disimpan di kulkas.

“Bicara omzet untuk masa Idul Adha tahun lalu saja tembus Rp 35 juta,” aku Tutik.

Baca Juga: Sosok Taoka Kazuo, Gangster Ganas Jepang, Salah Satu Pemimpin Yakuza yang Paling Ditakuti

Awal mula ide bisnis

Inspirasi untuk menjual bumbu untuk mengolah daging ini datang belasan tahun lalu.

Saat itu, banyak orang yang kesulitan mendapatkan bumbu masakan pada musim Lebaran Haji.

Masyarakat pada saat itu tidak puas dengan bumbu instan yang diproduksi oleh pabrik-pabrik.

Kemudian, Tutik memberanikan diri untuk menjual bumbu hasil buatannya pada 2004.

Hal itu didukung juga oleh hobinya, yaitu memasak.

Semula, ia memulai usaha ini sendirian tanpa bantuan dari orang lain.

Mulai dari menghaluskan bumbu, mengemas ke dalam plastik, hingga menitipkan ke pedagang di pasar, ia lakoni sendiri.

Baca Juga: Cerita Kocak Soekarno Saat Belanja Pakaian Dalam untuk Sang Istri, Ditemani Janda dan Kumpulkan Para SPG Toko

Menjelang lebaran, ia bisa kemudian mendapat penghasilan hingga Rp 350 ribu sehari.

Sejak saat itulah ia terus menekuni usaha bumbu tersebut hingga kini bisa berkembang luas.

“Saya juga tidak hanya menjual bumbu. Saya ini juga jual sayur matang bungkusan. Saya titip ke penjual-penjual di pasar,” katanya.

Bumbu yang ia jual kini juga telah mengalami berbagai percobaan.

Dahulu, Tutik sering mencoba makanan apapun untuk menambah referensi rasa terbaik untuk bumbunya.

Hal itu ia lakukan karena ia ingin bumbunya memiliki cita rasa yang kuat.

Kini, bumbu buatan Tutik memiliki cita rasa khas sendiri jika dibandingkan dengan bumbu-bumbu racikan lainnya.

Seperti, kata Tutik, yang membedakan bumbu rendang miliknya dengan yang lain adalah rempah-rempahnya.

Baca Juga: Daftar Terbaru Enam Keluarga Terkaya di Dunia tahun 2019, Salah Satunya Brand Fashion Hermes

Dalam racikannya, ia menggunakan kaskas, jinten manis, kapulaga jawa, dan ragam bumbu umum yang wajib dipakai lainnya.

"Karena ada yang membikin bumbu rendang pokoknya ada pekak. Tapi saya tidak," katanya.

Berkat kebiasaannya mencoba berbagai makanan, berat badannya bertambah hingga mencapai 115 kilogram.

Bersama sang Suami, Simron Guswanto (42), kini dapur kecilnya telah memiliki 4 karyawan.

Terkadang, ketiga anaknya juga ikut serta membantu proses produkdi bumbu saat memiliki waktu luang.

Jatuh bangun

Sebelum terjun di dunia bumbu, Tutik dan Simron berjualan ayam bakar di Yogyakarta.

Namun, sayangya usaha mereka harus bangkrut setelah ditipu oleh investasi abal-abal.

Baca Juga: Setelah Menyuntikkan Obat Kuat, Alat Vital Seorang Pria Terancam Diamputasi

Bahkan, saat itu keduanya sampai berada di titik di mana mereka hanya bisa makan sekali dalam sehari.

Kemudian, mereka memutuskan untuk mengadu nasib di Ibu Kota pada 2004.

Mereka mencari peruntungan dengan menjadi pedagang asongan.

Dari stasiun satu ke stasiun lainnya, keduanya menawarkan panganan kemasan.

"Bawa nasi gudeg ngasong. Waktu itu sudah punya 2 anak, tapi tinggal sama neneknya di Wates," kenang Tutik.

Dan saat itu pula, keduanya harus berhadapan dengan petugas tantrib setempat.

Dagangan mereka ludes tak bersisa karena disita.

Baca Juga: Mendur Bersaudara, Fotografer Momen Pembacaan Teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

Hal itu bahkan membuat mereka nyaris depresi.

Saat itu pula mereka memutuskan untuk pulang ke Wates dengan tekad akan mengubah nasib.

"Kami sampai berdiri berdua di ujung jembatan layang. Mobil terlihat kecil di bawah kami. Saya bilang dunia ku bukan di sini. Ayo bali (ayo pulang) ning Wates. Kita bisa hidup layak. Kita harus hidup layak," kenangnya.

"Saya ini sebenarnya bisa bikin kue kering dan kue basah. Kenapa harus seperti ini (jadi pengasong). Ayo pulang. Pulang," jelasnya.

Kembali bangkit

Sesampainya di Wates, mereka mulai membangun bisnis bumbu masak.

"Kuncinya kemauan dan kreatif. Peluang sebenarnya banyak sekali. Dari semula sakit hati, saya harus bangkit. Orang kalau ingin sukses itu harus berjuang, melampauinya dengan tidak putus asa," katanya.

Baca Juga: Kecintaan Bung Hatta Terhadap Buku dan Menulis, Dijadikan Mas Kawin Hingga Antarkan ke Tanah Suci

Kini usahanya telah memiliki 4 orang karyawan.

Bahkan, jika ada pesanan lebih, ia bisa menambah 3 orang karyawan untuk memenuhi permintaan.

Berkat usaha dan kerja keras keduanya, kini ketiga anaknya bisa meneruskan sekolah mereka.

Hingga berhasil memiliki rumah besar lantai dua dengan tembok dinding.(*)

Source : Kompas.com

Editor : Sosok

Baca Lainnya

Latest