Media Asing Soroti Indonesia Layak Pimpin ASEAN Menangi Laut China Selatan dari Klaim Abal-abal China, Sikap Tegas Kabinet Jokowi Jadi Alasannya!

Senin, 03 Mei 2021 | 16:01
PRESIDENTIAL PALACE/Agus Suparto

Presiden Joko Widodo meninjau kawasan perairan Natuna dari atas KRI Imam Bonjol, Kamis (23/6/2016)

Sosok.ID - Media asing South China Morning Post, sempat khawatir Indonesia akan melunak kepada China tentang Laut China Selatan.

Surat kabar Hong Kong tersebut menyoroti adanya bantuan vaksin Covid-19 yang ditawarkan China kepada Indonesia.

China mulai menawarkan bantuan vaksin ke negara-negara Asia Tenggara pada bulan Oktober 2020.

"Hal itu menimbulkan kekhawatiran bahwa Jakarta dapat dibujuk untuk melunakkan posisinya dalam sengketa wilayah Laut China Selatan," tulis SCMP, dilansir Sosok.ID pada Senin (3/5/2021).

Baca Juga: Imbas Ratusan Kapal China Masuki ZEE Filipina, Duterte Perintahkan Tetap Gelar Latihan Militer di Laut China Selatan Meski Diancam

Desember lalu, 1,2 juta vaksin Sinovac buatan China telah tiba di Jakarta, ibu kota Indonesia.

Ketika itu Indonesia memasuki bulan kesembilan pandemi, dan kasus positif yang dilaporkan setiap hari telah melonjak melebihi 4.000 sejak akhir September.

"Indonesia sudah mulai menerima vaksin, sementara “100 negara lain belum mendapatkan akses vaksin”," sorot SCMP yang mengutip pemberitaan dari Kompas.com.

Pada bulan Januari,Presiden Joko Widodo menjadi orang Indonesia pertama dan pemimpin non-China pertama yang menerima dosis vaksin Sinovac Biotech.

Baca Juga: Setelah KRI Nanggala-402 Tenggelam, Tiongkok Gencar Serbu Laut China Selatan, TNI AL Dapat Donasi Rp 1,2 Miliar Untuk Beli Kapal Selam Baru dari Masyarakat Tapi Ditolak, Ada Apa?

Indonesia saat ini berencana untuk menginokulasi lebih dari 180 juta dari 260 juta penduduk untuk mencapai kekebalan kawanan.

Media Hong Kong itu mengatakan, beberapa pakar menyarankan kerja sama vaksin China-Indonesia, tetapi dapat membahayakan posisi Jakarta dalam sengketa wilayah Laut China Selatan.

Pada kenyataannya, Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mendiversifikasi pasokan vaksinnya dan telah menegaskan kembali komitmennya terhadap pendekatan yang damai dan sah untuk menangani masalah Laut China Selatan.

Baca Juga: Kapal Induk Shandong China Perkuat Cengkeraman Laut China Selatan, AS Ketar-ketir Militernya Dipaksa Mundur

Indonesia menegaskan enggan memihak China maupun Amerika Serikat (AS) atas sengketa di Laut China Selatan.

Selain itu Indonesia juga berulang kali menegaskan bahwa Laut Natuna Utara adalah milik NKRI, sebara keras China berusaha merebutnya.

Melihat vaksin Sinovac mencakup sekitar 38 persen dari total pesanan pemerintah, SCMP menyoroti bahwa Indonesia mencoba untuk tidak ketergantungan bantuan China.

Apalagi, dari perspektif pemerintah Indonesia, pengadaan vaksin dari China dan sumber eksternal lainnya hanyalah strategi jangka pendek untuk meredam pandemi.

Baca Juga: Sengketa Laut China Selatan, Presiden Filipina Dicap 'Pengkhianat' oleh Rakyatnya gegara Statement 'Plin-plan' Lawan China!

“(Indonesia) masih harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan vaksin di dalam negeri,” kata Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro.

Strategi ini akan membantu mencegah Indonesia sepenuhnya bergantung pada vaksin impor, termasuk dari produsen China.

Selain menghindari ketergantungan pada China, alasan lain untuk diversifikasi adalah efektivitas vaksin China yang relatif rendah (50,4 persen untuk Sinovac, 79 persen untuk Sinopharm dan 66 persen untuk CanSino).

Sementara negara-negara kaya menimbun lebih banyak vaksin yang dapat diandalkan dari Pfizer-BioNTech, Moderna, Novavax dan AstraZeneca, pasar China berfokus pada negara-negara berkembang.

Baca Juga: Bukti Indonesia Ditakuti, Dicetuskan Nelayan Tanah Air, Kini Strategi Milisi Maritim Dipakai Vietnam Hingga Tiongkok Untuk Rebutan Laut China Selatan

Indonesia bukan satu-satunya negara ASEAN yang berusaha menghindari ketergantungan berlebihan pada vaksin China, lapor SCMP.

"Ini memastikan bahwa, setidaknya dari perspektif Indonesia, kerja sama vaksin tidak boleh mengarah pada kelemahan diplomatik atau kemacetan terkait Laut China Selatan," tulis media itu.

"Fakta bahwa vaksin China tidak mendominasi pasokan di negara-negara Asia Tenggara sedikit banyak mengurangi bahaya perselisihan di antara negara-negara ASEAN dan memungkinkan Indonesia untuk memimpin blok tersebut dalam masalah Laut China Selatan."

Jelas, ada kaitan antara vaksin itu dan sengketa Laut China Selatan, lapornya.

Baca Juga: China Makin Nekat, Xi Jinping Perintahkan Ilmuwannya Lakukan Pengeboran di Laut Natuna Utara, Bagaimana Tindakan Indonesia?

Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte memohon untuk mendapatkan vaksin China. Untuk mendapatkan itu, dia bersepakat tidak menghadapi Beijing di Laut China Selatan dan memutuskan untuk menolak pendirian kembali pangkalan militer AS.

Selama kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Filipina pada Januari 2021, China menyumbangkan 600.000 vaksin dan meminta Manila untuk menunjukkan "pertukaran persahabatan di depan umum, seperti sedikit mengontrol diplomasi megafon Anda" di Laut China Selatan, menurut sumber diplomatik.

Vietnam juga tidak nyaman dengan gagasan menjadi tergantung pada vaksin China. Oleh karena itu, negara tersebut mengembangkan vaksin Fasilitas Nano Covax yang ditanam sendiri untuk “tujuan keamanan nasional”, untuk menutup akses China.

Di Laut China Selatan, Beijing rentan secara hukum dan diplomatik. Daerah tersebut telah menjadi medan persaingan kekuatan besar.

Baca Juga: Buntut Coast Guard China Terobos Natuna Utara, Kemenlu Negeri Tirai Bambu Angkat Bicara

Untuk mengantisipasi pembicaraan tentang Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan, China membutuhkan kerja sama dari negara-negara ASEAN.

Tapi yang perlu diketahui Beijing adalah ASEAN ingin menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

"Indonesia adalah tokoh sentral untuk tujuan tersebut," tulis SCMP.

"Negara ini telah menyelenggarakan lokakarya tentang Mengelola Potensi Konflik di Laut China Selatan sejak tahun 1990-an. Pada September 2012, Indonesia datang dengan Zero Draft untuk memajukan pembicaraan CoC."

Kerja sama vaksin tidak boleh memberangus negara dari desakan China untuk berperilaku sah di Laut China Selatan.

Baca Juga: Pantas Saja Diincar China, Natuna Utara Ternyata Simpan Gunungan Harta Karun, Indonesia Sampai Rubah Peta untuk Pukul Mundur Xi Jinping dan Pasukannya

Pada tahun 2020, ketika Indonesia secara intensif membahas kerja sama vaksin dengan China, Jakarta mengirimkan dua catatan diplomatik kepada Sekjen PBB yang menolak klaim Beijing di Laut China Selatan, mengutip putusan 2016 dari Pengadilan Permanen Arbitrase di Den Haag, yang membatalkan apa yang disebut China sebagai klaim sembilan garis putus-putus.

Indonesia menjadi negara yang tegas menolak klaim Laut China Selatan. Karena wilayah Natuna Utara adalah jelas milik Indonesia, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk bersengketa dengan klaim abal-abal China.

Bagi Jakarta, keputusan 2016 dan United Nations Convention on the Law of the Sea (Unclos) 1982 tidak dapat dipisahkan dan merupakan prasyarat bagi perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.

Menyusul insiden kapal penangkap ikan Tiongkok yang melanggar zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna pada Januari 2020, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menentang klaim Laut China Selatan dengan mengambil keputusan tahun 2016.

Baca Juga: Lebih Berani dari Negara ASEAN Lainnya, Indonesia Ambil Langkah Ganti Nama Laut China Selatan Jadi Laut Natuna Utara demi Lawan Kenekatan Tiongkok!

"Ini adalah pertama kalinya pihak ketiga melakukannya. Dengan membatalkan sembilan garis putus-putus Tiongkok, putusan tahun 2016 tersebut juga menetapkan aktivitas Tiongkok di perairan Natuna sebagai melanggar hukum."

"Jakarta dengan tegas menolak tawaran Beijing untuk "negosiasi" pada Juni 2020 karena tidak ada klaim yang tumpang tindih," sorot media itu.

Pada awal Juli 2020, China mengadakan latihan militer di dekat Kepulauan Paracel yang diklaim oleh Beijing dan Hanoi, sementara Washington mengerahkan dua kapal induk, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, untuk "mendukung Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka".

Menanggapi meningkatnya ketegangan di Laut China Selatan, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengadakan pertemuan virtual bilateral dengan mitranya dari China Wang pada 30 Juli.

Baca Juga: Tidak Berharap Bantuan Negara Lain, Analis Ungkap Indonesia Siapkan Taktik Jitu Tandingi Kekuatan PLA Navy China di Natuna Utara

Dalam acara tersebut, Indonesia mendesak China untuk mematuhi Unclos 1982 dalam menyelesaikan perselisihan.

Bulan berikutnya, pada peringatan 53 tahun berdirinya ASEAN, Indonesia memprakarsai Pernyataan Bersama Menteri Luar Negeri Asean untuk Menjaga Perdamaian yang mengecam “perubahan dinamika geopolitik” yang mungkin memiliki “konsekuensi merugikan bagi kawasan”.

Lebih lanjut, menteri luar negeri ASEAN mendesak semua pihak untuk “menyelesaikan perbedaan dan perselisihan dengan cara damai sesuai dengan hukum internasional”.

Pada 13 Januari, hari pertama Jokowi menerima suntikan vaksin Sinovac, Retno Marsudi bertemu dengan Wang di Jakarta.

Dia kembali mendesak China untuk menghormati Unclos 1982 dan menjaga stabilitas di Laut China Selatan.

Baca Juga: Anggaran Militer Kadung Disunat Prabowo, Langkah Picik Tiongkok atas Laut China Selatan Ancam Posisi Indonesia di Natuna Utara

Ia menyampaikan pesannya atas nama ASEAN dan menekankan komitmen Indonesia terhadap sentralitas Asean di Indo-Pasifik yang stabil, damai, dan sejahtera.

"Indonesia telah menyusun rekan-rekan ASEANnya dengan cara yang rendah hati untuk memajukan kemajuan negosiasi CoC, yang diharapkan akan selesai tahun ini," kata SCMP.

"Indonesia berada di posisi terbaik untuk melakukan peran ini karena ini adalah negara Asia Tenggara terbesar, pemimpin alami ASEAN dan negara pesisir Laut China Selatan, bukan sebagai penggugat."

"Indonesia berupaya tetap bekerja sama dengan China dalam hal vaksin virus corona tanpa perlu menggadaikan kemerdekannya," tandasnya. (*)

Editor : Rifka Amalia

Sumber : South China Morning Post

Baca Lainnya