Sosok.ID - China mengamuk.
Mereka bentuk pasukan berani mati.
Tujuan membentuk pasukan ini ialah untuk melawan NATO
Pemerintah China dikabarkan sedang mengembangkan tentara generasi mendatang dengan kemampuan ala tokoh-tokoh pahlawan super di buku-buku komik. Setidaknya itulah analisis badan intelijen Amerika Serikat.
Tapi apakah tentara super -- dengan kemampuan di atas manusia biasa seperti kita -- memang bisa diciptakan?
Promosi video memperlihatkan baju Talos ini mementalkan peluru yang ditembakkan oleh musuh. Tapi proyek Iron Man tak berlanjut. Setelah lima tahun, ambisi membuat seragam antipeluru dihentikan.
Meski demikian, para pengembang masih berharap komponen-komponen seragam yang bisa mementalkan peluru ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tempur.
Seragam hanya satu dari sekian banyak aspek kemiliteran yang menjadi obyek penelitian dan pengembangan. Di dunia militer -- sama halnya dengan bidang-bidang lain -- orang berusaha untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teknologi agar bisa lebih maju atau unggul. Dan praktik ini sudah dimulai sejak zaman dulu.
Di era modern, unggul tak selalu terkait dengan persenjataan, tapi juga mengubah individu agar memiliki fitur tentara unggulan atau tentara super. Pada 2017, Presiden Rusia Vladimir Putin, memperingatkan bahwa "manusia mungkin tidak lama lagi akan membuat sesuatu yang jauh lebih buruk dari bom nuklir".
Putin mengatakan manusia "bisa membangun tentara yang bertempur tanpa rasa takut, tanpa penyesalan dan tanpa merasakan sakit".
Pemerintah di Beijing menggambarkan tulisan Ratcliffe sebagai "tak lebih dari kebohongan semata".
Antara ambisi dan realitas
Sosok.ID - Demi memuluskan langkahnya jadi penguasa dunia, China memang sepatutnya membentuk kesatuan berani mati.Karena lawan mereka adalah NATO, kekuatan militer utama dunia.
Maka jika tentara China setengah-setengah dalam perang kelak, siap saja disapu bersih armada gabungan NATO.
Tentu banyak yang berambisi punya tentara super, tentara yang tahan sakit, tahan suhu dingin atau tetap bugar meski tak tidur. Tapi, seperti terlihat dalam proyek Iron Man yang dikembangkan AS, kendala praktis sering kali membuat program militer tak bisa diwujudkan sesuai harapan.
Pada 2019, terbit tulisan akademis soal militer China "yang aktif mengeksplorasi teknik modifikasi genetika untuk membangun tentara super".
Disebutkan pula China "mengeksplorasi kemungkinan mengembangkan seragam canggih dan kolaborasi antara manusia dan mesin".
Tulisan ini disusun sebagian besar mendasarkan pada pendapat pakar strategi China. Namun, salah seorang penulis artikel tersebut, Elsa Kania, juga mengungkap hal lain.
"Memang penting mendiskusikan mengapa militer China membahas dan ingin mewujudkan ambisi mereka, tapi penting juga untuk mengakui kesenjangan antara ambisi dan kemampuan teknologi mereka secara riil," kata Kania.
Ia mengatakan teknologi yang dimaksud, penyuntingan genom dan kombinasinya dengan metode reproduksi berbantu (assisted reproduction), sudah semakin sering diterapkan di bidang transgenik dan pertanian.
"Namun untuk saat ini penerapannya pada manusia masih dianggap tidak etis," kata O'Neill.
Pada 2018, saintis China, He Jiankui, mengeluarkan pengakuan mengejutkan bahwa "ia berhasil mengubah DNA pada embrio dua gadis kembar agar mereka tak tertular HIV".
Pengakuannya memicu kemarahan. Penyuntingan DNA dilarang di banyak negara, termasuk China. Biasanya dibolehkan dalam situasi khusus dan hanya dibatasi untuk embrio hasil bayi tabung yang gagal.
Masih ada persyaratan lain, embrio tersebut dihancurkan dan tak dipakai untuk membuat bayi. He Jiankui membela diri namun ia kemudian dipenjara karena melanggar larangan pemerintah.
Metode CRISPR ini menjanjikan bisa menyembuhkan penyakit bawaan. Tapi apakah metode ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan militer? Apakah penyuntingan genetika bisa dipakai untuk membangun tentara dengan otot lebih kuat atau bisa bernafas normal di ketinggian?
Peneliti genetika di Francis Crick Institute, London, Christophe Galichet mengatakan dalam praktiknya tidak akan mudah.
Ia mengatakan ada batasan-batasan. Penyuntingan gen, katanya, mungkin bisa membuat otot seseorang lebih kuat, tapi juga bisa menyebabkan munculnya kanker pada diri individu tersebut. Ia juga mengatakan efek perubahan galur gen akan diturunkan ke generasi berikutnya.
O'Neill mengatakan China sudah melangkah jauh di bidang penelitian genetika dan mungkin saja negara-negara lain akan segera tertinggal. Ia berpendapat banyak pihak yang terlalu fokus dengan debat tentang etika, bukan soal realita perkembangan di lapangan.
"Mestinya kita lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga soal risiko dan penerapan teknologi ... dengan begitu kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik. (Cepat atau lambat) orang akan menggunakan teknologi ini," kata O'Neill.
"Hanya dengan terus melakukan penelitian kita akan paham di titik mana [teknologi] ini bisa merugikan," katanya.
China bisa menang jika konsisten mengembangkan teknologi ini.(*)
Sumber : Kontan