Sosok.ID - Sebuah kabar mengejutkan dari dunia persenjataan militer canggih.
Bagaimana tidak, setidaknya di tahun 2019 yang lalu, ada peningkatan cukup signifikan mengenai jual beli senjata perang canggih.
Bak isyarat perang dunia ketiga makin dekat, banyak negara kini mulai memperkuat persenjataan mereka.
Hal itu ditambah lagi dengan beberapa kekuatan militer besar di dunia seperti Rusia, China, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di Benua Eropa lainnya sedang memanas.
Mereka pun saling berselisih di beberapa hal hingga menimbulkan perseteruan antar negara.
Ditambah lagi mengenai dunia jual beli senjata canggih dalam satu tahun tepatnya tahun 2019 lalu itupun menjadi bukti lain.
Dalam sebuah laporan lembaga penelitian SIPRI mengungkapkan hal yang luar biasa.
Pada Senin (7/12/2020), setidaknya ada dua negara besar yang mendominasi pasar senjata global di tahun tersebut.
Baca Juga: Ilmuwan Rusia Berkhianat, Bocorkan Pengembangan Sistem Pertahanan Beruang Merah
Dua negara itu tak lain adalah Amerika Serikat dan China.
Industri senjata AS menyumbang 61 persen dari penjualan senjata oleh produsen 25 terbesar dunia pada 2019, di atas China 15,7 persen, menurut Stockholm International Peace Research Institute.
Melansir AFP pada Senin (7/12/2020), total penjualan oleh "Top 25" produsen senjata dunia naik 8,5 persen menjadi 361 miliar dollar AS (Rp 5,097 kuadriliun), atau 50 kali lipat dari anggaran tahunan operasi penjaga perdamaian PBB.
Enam perusahaan senjata AS dan tiga perusahaan senjata China berada di 10 besar.
Baca Juga: Karena Visa, China-Amerika Bisa Saling Gontok-gontokan
"China dan Amerika Serikat adalah dua negara terbesar dalam hal belanja senjata global, dengan jumlah perusahaan yang diperkecil," kata Lucie Beraud-Sudreau, direktur program belanja senjata dan militer SIPRI, kepada AFP.
AS memang diketahui telah mendominasi sebagai penjual senjata perang dalam beberapa dekade terakhir.
Namun kini China menjadi salah satu pesaingnya dengan kenaikan sekitar 5 persen penjualan senjata di tahun 2019.
"Peningkatan ini (China) sesuai dengan implementasi reformasi untuk memodernisasi Tentara Pembebasan Rakyat yang sedang berlangsung sejak 2015," kata Beraud-Sudreau.
Baca Juga: Rusia Mengamuk, Kerahkan Kapal Perang untuk Buktikan Otot Militernya Masih Seram
Perusahaan AS, yaitu Lockheed Martin, Boeing, Northrop Grumman, Raytheon dan General Dynamics menempati lima posisi teratas dalam peringkat produsen senjata terbesar dunia.
AVIC, CETC dan Norinco asal China memegang posisi 6, 8, dan 9. Grup AS L3Harris Technologies berada di posisi ke-10.
"Eropa tetap agak terpencar...tetapi jika Anda menggabungkan perusahaan Eropa bersama-sama, Anda dapat memiliki perusahaan Eropa dengan ukuran yang sama" seperti pabrikan AS dan China, Beraud-Sudreau mencatat.
Perusahaan asal benua Biru memang sedikit lebih terinternasionalisasi menjadi penyebab utamanya.
Selain itu ada hal yang cukup menarik datang dari dunia Timur Tengah.
Sebab untuk pertama kalinya, sebuah perusahaan asal negara Arab berhasil masuk dalam Top 25 produsen senjata dunia.
Yakni ada al EDGE dari Uni Emirat Arab yang dibentuk oleh konsolidasi sekitar 25 entitas pertahanan pada tahun 2019 lalu.
Di posisi ke-22, EDGE "adalah gambaran yang baik tentang bagaimana kombinasi permintaan nasional yang tinggi akan produk dan layanan militer dengan keinginan untuk mengurangi ketergantungan pada pemasok asing, yang mendorong pertumbuhan perusahaan senjata di Timur Tengah," kata peneliti SIPRI, Pieter Wezeman dalam laporannya.
Baca Juga: NATO Melihat Kemajuan Militer China Sebagai Ancaman Serius
SIPRI juga mencatat bahwa grup Perancis, Dassault, telah melonjak dari posisi 38 menjadi 17, didorong oleh ekspor jet tempur Rafale pada 2019.
Namun negara satu ini juga tak bisa dikesampingkan, yakni Rusia.
Dua perusahaan Rusia memang diketahui masuk dalam jajaran top 25.
Almaz-Antey, yang berada di posisi ke-15 dan United Shipbuilding di urutan ke-25.
Baca Juga: Semakin Gahar, Rusia Kali Ini Disuplai Mesin Perang Seabrek
Beraud-Sudreau mencatat bahwa perusahaan-perusahaan senjata Rusia berada dalam kondisi yang lebih baik beberapa tahun lalu berkat program modernisasi besar-besaran untuk militernya, tetapi setelah itu bisnisnya "melambat tajam".
Sanksi yang dijatuhkan pada Moskwa setelah aneksasi Krimea pada 2014 dan penurunan harga gas alam serta energi telah berdampak pada ekonomi Rusia, katanya.
"Rusia harus memperlambat rencananya untuk memodernisasi peralatan militernya...Akibatnya ada lebih sedikit pesanan dari negara Rusia, lebih sedikit proyek baru yang diluncurkan, dan penurunan pendapatan," ucapnya.
(*)