Indonesia Siap Jajah dan Monopoli Minyak Sawit Eropa, Swiss Ketakutan Lantas Lontarkan Isu Tak Masuk Akal

Rabu, 24 Juni 2020 | 12:13
Kompas.com

Indonesia Siap Jajah dan Monopoli Minyak Sawit Eropa, Swiss Ketakutan Lantas Lontarkan Isu Tak Masuk Akal

Sosok.ID - Jauh dari pemberitaan, ternyata Swiss sedang bersitegang dengan Indonesia.

Bukan perkara militer namun masalah perdagangan.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Swiss tidak terima jika Indonesia 'menjajah' sebagai importir besar Minyak Sawit di negaranya serta Eropa.

Maka isu lingkungan hidup dilontarkan para LSM Swiss.

Baca Juga: Amerika Memang Berniat Gempur China, 60 Persen Kekuatan US Navy Sudah Bercokol di Asia-Pasifik

Namun apa lacur, pemerintah Swiss malah mendukung perdagangan dengan Indonesia yang mereka nilai menguntungkan daripada mendengar ocehan ngawur LSM di negerinya.

Uniterre, lembaga swadaya masyarakat di Swiss berhasil menggalang suara untuk mengusulkan referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia dan turunannya ke Mahkamah Konstitusi Swiss.

Pada Senin, 22 Juni 2020, Uniterre membawa 26 kotak yang berisi 59.200 tanda tangan permintaan referendum penolakan produk kelapa sawit dan turunannya. "Jika disetujui, setelah diteliti keabsahannya, tentunya, referendum penolakan produk kelapa sawit Indonesia, hanya soal waktu,“ tutur Mathias Stalder, sekretaris Uniterre, kepada Kompas.com .

Mathias yakin, referendum, penentuan nasib pemasaran produk kelapa sawit, akan disetujui Makahmah Konstitusi Swiss. Seperti biasa, ritual penyerahan kotak berisi tanda tangan untuk meminta referendum, diisi orasi dari Uniterre.

Baca Juga: Hilang Akal 2 Bulan Diusir dari Ranjang Sendiri Gegara Hati Istri Dimonopoli Pebinor, Pria Ini Culik sang Pacar Gelap dan Minta Tebusan Rp 30 Juta: Biar Semua Keluarga Tau!

Isinya, bagaimana industri kelapa sawit menghancurkan lingkungan hidup.

Sekaligus tentang keberuntungan yang diperoleh perusahaan besar.

Ada puluhan wartawan, tidak terkecuali televisi Swiss dan kantor berita media arus utama.

Ronja Jansen, Presiden Juso (Jung Sozialdemokratische Partei Schweiz), berharap referendum ini akan menjadi kenyataan.

"Apa yang diakibatkan oleh Industri Kelapa Sawit sangat fatal. Lingkungan hidup di Indonesia rusak, dan juga pada akhirnya berpengaruh ke pemanasan global,“ katanya kepada Kompas.com.

Baca Juga: Hanya Bermodal Belut, Para Wanita Ini Bisa Kembalikan Keperawanan Mereka

Ronja sendiri berada dalam dilema, karena induk partai politiknya, Sozialdemokratische Partei Schweiz (SP), ikut meneken kontrak persetujuan perdangan dengan Indonesia. "Tapi saya disini tidak mewakili SP,“ katanya.

Meski dalam perjanjian kerja sama itu ditekankan tidak ada lagi perusakan lingkungan, Ronja ragu pemerintah Indonesia bisa bersikap tegas.

"Bagaimana pengaturannya nanti. Dan bagaimana sanksinya kalau tidak ditepati perjanjiannya. Ini juga harus dipikirkan,“ imbuhnya.

Menurut Ronja, perjanjian kerjasama antara Indonesia dan Swiss hanya menguntungkan industri besar.

Baca Juga: Global Hawk, UAV Pengintai Korsel Siap Ciduk Kim Jong Un di Persembunyiannya

"Lebih banyak mudharatnya ketimbang keuntungannya. Saya berharap, referendum akan disetujui dan rakyat Swiss yang akan menentukan,“ katanya.

Masyarakat Swiss saat ini menggunakan minyak goreng dari perasan biji canola, yang sebagian besar diproduksi petani Swiss.

Lalu bunga matahari, kacang tanah dan buah zaitun.

Minyak canola saat ini dikampanyekan sebagai minyak paling sehat, bersama dengan minyak zaitun.

Sementara mentega yang ada di Swiss sebagian besar diproduksi dari susu sapi petani lokal. Dalam kerja sama Swiss dan Indonesia, Swiss mendapatkan potongan harga 40% produk minyak sawit.

Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Muliaman Hadad mengatakan, bahwa kerja sama antara Swiss dan Indonesia, akan menguntungkan kedua belah pihak.

Baca Juga: Tak Peduli Perwira, Bintara Atau Tamtama : Tetap Tentara, Berikut Besaran Gaji Ketiganya di TNI

"Ada 280 juta jiwa di Indonesia yang akan menjadi pangsa pasar Swiss. Jika kita bicara Asia Tenggara, akan ada lagi 700 juta jiwa sebagai pangsa pasar lainnya,“ kata Muliaman Hadad seperti dikutip Swissinfo.

Dalam perjanjian kerjasama dagang tersebut, produk kelapa sawit yang akan masuk Heidiland dibatasi hanya 10.000 ton.

Jumlah yang sebenarnya tidak banyak untuk keseluruhan ekspor produk kelapa sawit Indonesia yang mencapai 35 juta ton per tahunnya.

Menurut Nur Hasanah , Doktor lulusan ETH Zurich yang meneliti kelapa sawit, jumlah 16 juta hektar perkebungan kelapa sawit yang ada di Indonesia, tidak semua merupakan perambahan hutan.

"Hanya empat juta hektar hasil deforestasi. Sisanya, 12 juta hektar free deforestrasi,“ katanya kepada Kompas.com.

Baca Juga: Usul Agar Jokowi Masuk Grup WA Emak-emak, Rocky Gerung Bakal Belikan Empek-empek untuk Pengkritiknya Jika Jadi Presiden: Biar Protein Otaknya Tinggi

Saat ini, imbuh Nur Hasanah, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan industri kelapa sawit sudah melakukan revisi dan terus berupaya dalam pencapaian industri kelapa sawit berkelanjutan.

"Ada penekanan transparansi di semua bidang, termasuk tanggung jawab ke pekerja dan lingkungan sosial. Tentu saja juga peningkatan pengelolaan biodiversitas dan sumber daya alam,“ tegas Nur Hasanah.

Nur Hasanah berpendapat, Uniterre yang mengkampanyekan luasnya perusakan hutan tropis berlebihan.

Luas Swiss dan Indonesia sangat beda.

Baca Juga: Tensi Tinggi! Tiga Kapal Induk Amerika Sudah Bersiaga di Mulut Perairan China

"Kutai Kertanegara saja, daerah industri kelapa sawit yang saya teliti, luasnya setengah dari Swiss,“ tegas Nur Hasanah.

Dalam kampanyenya, Uniterre menyebutkan bahwa ladang kelapa sawit yang berjumlah 13 juta hektar itu, sama dengan tiga kali lipat luas negara Swiss.

Uniterre menyebutnya sebagai green desert.(*)

Artikel ini pernah tayang di Kontan dengan judul "Referendum penolakan produk kelapa sawit RI masuk ke Mahkamah Konstitusi Swiss"

Editor : Seto Ajinugroho

Sumber : kontan

Baca Lainnya