Sosok.ID - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun kembali menyinggung soal upaya pemberhentian presiden.
Refly dalam kanal YouTubenya mengungkap terkait isu seminar di UGM yang diberhentikan karena adanya isu ancaman pembunuhan.
Seminar itu bertajuk tentang pemberhentian presiden yang rencananya digelar oleh Fakultas Hukum UGM.
Namun karena dituduh makar dan mendapatkan ancaman, seminar itu urung digelar.
Refly pun mengaku sedih dengan batalnya seminar tersebut.
Sebab menurutnya, setelah era reformasi harusnya tak ada lagi ketakutan-ketakutan terakait hal semacam itu.
"Saya sesungguhnya sedih," ungkap Refly, dikutip Sosok.ID dari YouTube Refly Harun, Senin (1/6/2020).
"Saya berharap setelah terbitnya era reformasi tanggal 21 Mei 1998, di mana kita tahu itu menumbangkan rezim otoriter orde baru, saya berharap tak ada lagi ketakutan oleh sebuah komunitas akademik yang membahas isu-isu tertentu," katanya.
"Sekalipun isu itu berkaitan tentang pemberhentian seorang presiden, misalnya," lanjut Refly.
Refly kemudian menerangkan alasan kenapa kita tidak perlu khawatir dan paranoid dengan isu-isu demikian.
Menurutnya, era kepemimpinan Presiden Jokowi memiliki nuansa yang serupa dengan rezim orde baru.
"Saya pernah mengalami masa kelam orde baru, waktu itu berpendapat begitu takutnya, begitu khawatirnya," kata Refly.
Baca Juga: Kencang Sindir Kabinet Jokowi Anti Kritik, Refly Harun Soroti Buzzer Politik: Kurang Kerjaan!
"Khawatir ditangkap, khawatir dipidanakan," lanjutnya.
"Tapi sadar atau tidak, nuansa itu ada saat ini," katanya.
Refly menganggap kesamaan nuansa itu muncul karena masyarakat tidak dapat berpendapat dengan tenang di negara demokrasi.
"Jadi seperti kita sedang diintai, kepleset omongannya maka akan berlakulah undang-undang ITE," ujar Refly.
Ia merasa hal itu telah meningkatkan upaya menyebarnya kebencian dan rasa permusuhan di Tanah Air.
Padahal menurutnya, kritik dalam pemerintahan demokrasi adalah suntikan vitamin bagi pemimpin.
"Dan tugas intelektual, tugas akademisi (merujuk pada isu seminar UGM), adalah memberikan masukan-masukan yang berharga," katanya.
Ia juga setuju dengan dilayangkannya kritik dalam praktik penyelenggaraan negara yang menyimpang.
"Kalau seandainya dia (akademisi) memandang bahwa ada hal-hal yang tidak benar dalam praktik penyelanggaraan negara ini, itu sah-sah saja (mengkritik) sebagai hak warga negara," sebutnya.
Oleh karenanya Refly menyangkan batalnya seminar UGM terkait pemberhentian presiden yang dibatalkan.
"Jadi tidak perlu harus dicurigai akan ada makar, akan ada gerakan menjatuhkan presiden dan lain sebagainya," kata Refly.
"Kita harus membedakan antara keinginan memberhentikan presiden yang jalannya sudah diatur dalam konstitusi, dengan keinginan lain yaitu presiden mengundurkan diri," jelasnya.
Refly mengatakan, jika terkait pejabat mengundurkan diri itu adalah hak dan subjektivitas pejabat yang bersangkutan.
Sesuai dengan TAP MPR Nomor 06 Tahun 2001 yang mengatur tentang etika bernegara, disebutkan bahwa pejabat yang kehilangan kepercayaan dari rakyat sebaiknya merasa malu.
"Seharusnya malu hati dan mundur, tapi itu tidak hanya berlaku untuk presiden saja. Itu untuk umum," sebutnya.
"Semua pejabat di republik ini kalau tidak mendapatkan kepercayaan ya harus tahu diri," kata Refly.
Baca Juga: Jokowi Ajak Rakyat Berdamai dengan Virus Corona, Jusuf Kalla: Risikonya Mati
Lihat selengkapnya mulai menit 19:00.
(Rifka/Sosok.ID)