Rapor Merah Kepemimpinan Jokowi Diurai Jurnal Media Asing, Penanganan Virus Corona Indonesia Disebut Terburuk Se-Asia Tenggara

Sabtu, 16 Mei 2020 | 19:35
Tribunnews

Presiden Jokowi

Sosok.ID - Pemerintah Indonesia, dianggap telah gagal mengendalikan pandemi Covid-19 dan melindungi hak-hak warga negaranya.

Pernyataan ini muncul dalam tulisan Rafiqa Qurrata A'yun dan Abdil Mughis Mudhoffir dalam jurnal Melbourne Asia Review.

Mengutip Warta Kota, Rafiqa sendiri merupakan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekaligus mahasiswa PhD di Melbourne Law School.

Sementara Abdil Mughis Mudhoffir adalah Dosen di Departemen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta.

Baca Juga: Punya Wewenang Mutlak, Presiden Jokowi Kini Berkuasa Penuh Mengangkat, Mutasi serta Memecat PNS

Tulisan yang berjudul "Indonesia sedang mengeksploitasi krisis COVID-19 untuk tujuan yang tidak liberal" itu menguraikan rapor merah Pemerintahan Indonesia dalam upaya menanggulangi wabah virus corona.

Dikutip Sosok.ID, dilansir dari Melbourne Asia Review, kegagalan Indonesia salah satunya dapat dilihat dari tingkat kematian akibat Covid-19 yang tinggi.

Penanganan itu disebut sebagai yang terburuk di Asia Tenggara.

Seluruh pemimpin di berbagai belahan dunia, telah secara dramatis meningkatkan kekuatan dalam menghadapi krisis.

Baca Juga: Presiden Jokowi Naikan Iuran BPJS, Mantan Pasangannya Saat Jadi Walikota Solo Heran dan Sebut Bisa Buat Gaduh Masyarakat: Ini Mesti Diluruskan Dulu...

Negara-negara seperti Selandia Baru dan Jerman dikatakan telah berhasil mengendalikan wabah dan melindungi hak-hak warganya.

Sementara Indonesia dianggap gagal dalam keduanya.

Pertama, Indonesia melaporkan angka kematian diatas 7 persen, menjadi negara di kawasan Asia dengan tingkat kematian tertinggi.

Dimana sebagian besar negara lain melaporkan persentase kematian sebanyak 0-3 persen saja.

Baca Juga: Kabar Tak Menyenangkan, Jokowi Naikkan Iuran BPJS Walau di Tengah Pandemi Corona

Kegagalan Indonesia tidak berhenti sampai disitu saja.

Keengganan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada mereka yang membutuhkan, juga dugaan penggunaan dana bantuan, adalah sebagian kecil permasalahaan.

Indonesia juga memiliki sedikit akuntabilitas dalam kaitannya dengan penggunaan uang terkait COVID-19.

Lalu disisi lain, elit politik-bisnis menggunakan krisis sebagai kesempatan untuk mengeluarkan banyak undang-undang kontroversial, membuka jalan bagi para penjarah untuk lebih leluasa.

Baca Juga: Kencang Sindir Kabinet Jokowi Anti Kritik, Refly Harun Soroti Buzzer Politik: Kurang Kerjaan!

Menolak lockdown

Pada 30 Maret, Presiden Jokowi mengumumkan pembatasan sosial skala besar (PSBB) yang akan digabungkan dengan kebijakan "darurat sipil" untuk memberlakukan kuncian untuk memperlambat penyebaran COVID-19.

Dariurat sipil diberlakukan jika PSBB yang ada tidak berfungsi dengan cukup baik.

Kelompok-kelompok advokasi berpendapat bahwa status darurat sipil tidak diperlukan sebab undang-undang tentang mitigasi bencana dan karantina kesehatan sudah cukup.

Baca Juga: Australia Sanjung Anies Baswedan Setinggi Langit karena Tanggap Corona, Presiden Jokowi Dianggap Lelet?

Motif pemerintah terlihat mencurigakan karena berdasarkan undang-undang karantina kesehatan yang ada (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan), dengan menerapkan karantina teritorial (kuncian), pemerintah pusat harus menyerahkan pembayaran jaminan sosial.

Namun tidak ada kewajiban seperti itu pada pemerintah ketika PSBB diterapkan, atau jika status darurat sipil berlaku.

Kendati bantuan-bantuan telah digelontorkan, pemilihan PSBB masih dianggap sebagai upaya pemerintah yang tak sanggup memberikan jaminan pada masyarakat.

Baca Juga: Jerinx SID Ngoceh Soal Jokowi dan Terawan Paham Skema Konspirasi Covid-19, Aiman Cuma Senyum Terheran-heran

Elit pemerintah dengan konflik kepentingan

Dua anggota staf khusus presiden yang terlibat dalam konflik kepentingan antara peran publik mereka dan kepentingan pribadi sehubungan dengan dana bantuan Covid-19.

Salah satu program pemerintah yang menyediakan pelatihan online untuk pekerja diberhentikan di tengah pandemi.

Sebuah perusahaan rintisan pendidikan Ruangguru, yang CEO-nya adalah staf kepresidenan Adamas Belva Syah Devara, mengundurkan diri dalam tugasnya.

Baca Juga: Jokowi Dinilai Mulai Kesal dengan Cara Anak Buahnya Tangani Corona, Pakar: Menterinya Nggak Ada, Penasihat Pergi, Jubir Entah Kemana

Setelah Devara, staf presiden lainnya, Andi Taufan Garuda Putra, juga telah dituduh memiliki konflik kepentingan setelah mengirim surat kepada bupati di kop surat resmi pemerintah.

Hanya ada sedikit akuntabilitas dalam hal pengeluaran terkait COVID pemerintah

Respons pandemi COVID-19 pemerintah juga memberikannya kekuasaan yang berlebihan atas anggaran negara.

Segala sesuatu yang dikeluarkan oleh pemerintah sehubungan dengan COVID-19 dianggap sebagai langkah untuk mengamankan perekonomian dari krisis.

Baca Juga: Presiden Jokowi Sudah Izinkan Masyarakat Indonesia Beraktivitas di Tengah Pandemi Corona

Tidak ada keputusan yang dibuat atau tindakan yang diambil dapat diajukan di pengadilan administrasi negara dan pejabat pemerintah kebal dari tuduhan pidana.

Pengkritik pemerintah ditangkap

Pada 23 April, Ravio Patra, seorang aktivis yang telah kritis terhadap bagaimana pemerintah mengelola wabah, dituduh telah memprovokasi kerusuhan nasional melalui aplikasi chat.

Mengesahkan undang-undang yang tidak terkait selama krisis

Pemerintahan Jokowi dan partai-partai yang berkuasa di parlemen (DPR) juga dianggap telah mengeksploitasi wabah untuk mempercepat pembahasan banyak undang-undang kontroversial.

Baca Juga: Presiden Jokowi Serukan Warga Indonesia Harus Berdamai dengan Corona Jika Ingin Pandemi Segera Berakhir

Seperti RUU Cipta Kerja Omnibus yang merupakan salah satu rancangan undang-undang yang diprioritaskan oleh parlemen untuk diundangkan selama wabah.

Pengamat juga menghubungkan kegagalan Indonesia dalam menangani wabah COVID-19 karena ketidakmampuan Jokowi dan kurangnya pemikiran strategis.

Banyak pejabat pemerintah yang menyangkal virus ini dan belum memberikan tanggapan efektif terhadap wabah tersebut. (*)

Editor : Rifka Amalia

Sumber : Melbourne Asia Review

Baca Lainnya