Bukan Membebaskan Napi Koruptor Seperti yang Diusulkan Yasonna Laoly, Sosok Ini Sebut Pemerintah Seharusnya Lakukan Pendekatan Wilayah untuk Antisipasi Penyebaran Virus Corona di Dalam Lapas

Minggu, 05 April 2020 | 17:35
(KOMPAS.com/Dian Erika)

Menkumham Yasonna H Laoly, dianggap hanya manfaatkan situasi untuk bebaskan koruptor

Sosok.ID - Belakangan nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menjadi pembicaraan publik.

Hal itu disebabkan oleh usulannya terkait pembebasan narapidana di tengah wabah virus corona yang kian meningkat jumlahnya di Indonesia.

Seperti yang telah diwartakan Sosok.ID sebelumnya, Yasonna memberikan wacana pembebasan untuk para narapidana kasus korupsi.

Hal itu bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).

Baca Juga: Bualan Pembebasan Koruptor, Yasonna Laoly Dianggap Manfaatkan Wabah Covid-19, Alasan Kemanusiaan cuma Omong Kosong, Koordinator ICW: Ini Aji Mumpung, Ambil Peluang

Untuk mewujudkan wacana tersebut, Yasonna berencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sebab, napi koruptor yang tata laksana pembebasannya diatur lewat PP tidak bisa ikut dibebaskan bersama 30.000 napi lainnya.

"Karena ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa kami terobos karena Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012," kata Yasonna dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR yang digelar virtual, Rabu (1/4/2020), seperti dikutip Sosok.ID dari Kompas.com.

Wacana tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Baca Juga: Cegah Penyebaran Virus Corona, Yasonna Laoly Wacana Bakal Bebaskan Koruptor, Pakar Antikorupsi UGM: Jangan Dibuat Persyaratan yang Mudah

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu pun memberikan opsi lain kepada pemerintah.

Melansir dari Kompas.com, Erasmus mengatakan pemerintah seharusnya menggunakan pendekatan wilayah bila ingin mencegah penyebaran Covid-19 di lapas.

Pendekatan yang dimaksud adalah, dengan memberikan remisi kepada napi yang berada di dalam lapas yang overcrowding (melebihi kapasitas).

Sehingga mereka dapat dibebaskan dan lapas menjadi lebih luas bagi napi lainnya yang belum bebas.

Baca Juga: Komentarnya Soal RKUHP Dikatai Bodoh Oleh Yasonna, Dian Sastro Berikan Tanggapan Menohok

"Tahanan mana yang tidak bisa melakukan physical distancing (itu yang dikeluarkan)," kata Erasmus dalam sebuah diskusi, Minggu (5/4/2020), seperti dikutip Sosok.ID dari Kompas.com.

Menurut keterangannya, saat ini lapas di Indonesia telah mengalami overcrowding hingga 105 persen.

Dari sekitar 270 ribu napi yang ditampung, kelebihan bebannya mencapai 140 ribu napi.

Menurutnya, kelebihan beban itu disebabkan oleh sistem hukum di Indonesia yang belum ada reformasi.

Baca Juga: Ralat! Jubir Presiden Nyatakan Penangguhan Cicilan Kredit Untuk yang Terdampak Covid-19 Bukan Cuma yang Positif Corona

Sebab, banyak hukum pidana yang tak memberikan opsi kepada hakim untuk menerapkan hukuman alternatif selain penjara.

Erasmus berpendapat, bila pemerintah memang harus memukul rata pemberian remisi, ia berharap bukan napi koruptor yang dibebaskan.

Pasalnya napi koruptor telah menerapkan physical distancing mengingat setiap satu sel hanya diisi oleh satu orang.

"Menurut ICJR yang seharusnya dikeluarkan adalah pengguna dan pecandu narkotika. Karena nomor satu mereka tidak harusnya di dalam," kata dia.

Baca Juga: Curhatan Perawat Lihat Pasien Covid-19 yang Memprihatinkan Sampai Tampung Keluh Kesah Mereka Lewat Grup WhatsApp: Ada yang Nyaris Bunuh Diri Gegara Stress

Selain itu, Erasmus mengatakan, berdasaran penelitian ICJR, jumlah kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba terus mengalami peningkatan.

Sebagai gantinya, para napi narkoba bisa menjalani rehabilitasi agar tak kembali terjerumus ke dalamnya.

(*)

Editor : Dwi Nur Mashitoh

Sumber : Kompas.com, Sosok.id

Baca Lainnya