Sosok.ID - Akibat peristiwa mati listrik massal yang terjadi Minggu (4/8/2019) lalu membuat PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN harus menanggung resikonya.
Atas peristiwa mati listrik massal yang terjadi di wilayah Jabodetabek dan Bandung, PT PLN harus membayarkan ganti rugi sebesar Rp 839 milyar sebagai biaya kompensasi konsumen.
Tak main-main, untuk membayarkan biaya ganti rugi kepada pihak konsumen PT PLN sampai berkomitmen untuk memangkas biaya tersebut dari gaji karyawan.
Melansir dari Kompas.com, peristiwa mati listrik massal terjadi di wilayah Jabodetabek dan Bandung pada Minggu (4/8/2019) lalu.
Mati listrik massal ini terjadi secara tiba-tiba begitu saja tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada masyarakat.
Akibatnya, banyak aktivitas masyarakat pada hari itu baik dari segi ekonomi maupun mobilisasi terhambat total.
Dilansir Sosok.ID dari Tribunnews, Executive Vice President Corporate Communication and CSR PLN I Made Suprateka mengungkap bahwa penyebab mati listrik massal ini dikarenakan erdapat gangguan sisi transmisi di Ungaran dan Pemalang 50 kV.
Peristiwa mati listrik ini pun terjadi hingga dua hari.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PT PLN Dwi Suryo Abdullah mengatakan hal ini dikarenakan aliran listrik belum pulih.
Adanya titik panas saat pendistribusian listrik ke Jakarta dan sekitarnya membuat aliran listrik sampai Senin (5/8/2019).
Peristiwa mati listrik secara massal yang sampai berhari-hari ini pun membuat publik di daerah ibukota dan sekitarnya meradang.
Aktivitas ekonomi mereka terhambat dan kerugian yang harus mereka tanggung semakin besar.
Keluhan ganti rugi kepada PT PLN dari warga ibukota dan sekitarnya pun saling berdatangan.
Tak hanya dari warga, keluhan kekecewaan pun datang dari Presiden Jokowi yang baru saja mendatangi kantor pusat PLN beberapa waktu lalu.
Berkomitmen untuk bertanggung jawab penuh atas kejadian ini, PT PLN pun memutuskan akan membayaran biaya ganti rugi kepada 21,9 juta pelanggannya yang mengalami kerugian.
Direktur Pengadaan Stratefis II PLN Djoko Rahardjo Abumanan bahkan mengatakan bila pihaknya tak kan menggandalkan dana dari APBN untuk membayarkan ganti rugi.
Djoko Rahardjo Abumanan berpendapat bahwa kejadian mati listrik massal ini murni kesalahan perseroan dan bukan tanggung jawab negara.
"Enak aja kalo dari APBN ditangkap, enggak boleh," ujar Djoko Rahardjo Abumanan ketika ditemui di kawasan DPR/MPR RI, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Melansir Kompas.com, Djoko Rahardjo Abumanan menjelaskan bahwa pihak perseroan harus melakukan efesiensi untuk bisa membayarkan ganti rugi kepada pelanggan.
Salah satu caranya adalah dengan memangkas gaji para karyawan PT PLN.
Namun, dengan besaran biaya ganti rugi yang mencapa Rp 839 milyar, kondisi keuangan PT PLN bisa berpotensi negatif.
"Makanya harus hemat lagi, gaji pegawai dikurangi," lanjut Djoko Rahardjo Abumanan.
Pemotongan gaji karyawan yang dimaksud disini adalah pemangkasan dari insentif kesejahteraan karyawan yang tidak termasuk dalam gaji pokok.
Tak hanya pegawai saja, jajaran direksi pun berpeluang bakal terkena pemangkasan gaji.
"Kaya gini nih kemungkinan kena semua pegawai," ujar Djoko Rahardjo Abumanan.
Kendati demikian Djoko Rahardjo Abumanan masih belum bisa memastikan berapa besar peran pemotongan gaji karyawan bakal berpengaruh terhadap keseluruhan biaya ganti rugi.
Djoko Rahardjo Abumanan juga tak bisa memastikan apakah dari pemangkasan gaji karyawan akan efektif dalam membayarkan semua biaya ganti rugi.
Terkait pembayaran kompensasi ganti rugi sampai memangkas gaji karyawan ini, keputusan PT PLN pun menjadi topik perbincangan hangat masyarakat Indonesia.
Kebanyakan dari mereka akhirnya mempertanyakan kepantasan pembayaran ganti rugi kepada para pelanggan.
Jika sampai memotong gaji karyawan atas kejadian yang terjadi secara tiba-tiba dan tak bisa terprediksi ini, apakah memang pantas untuk dilakukan?
Terkait hal tersebut, Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi ikut angkat bicara.
Dilansir Sosok.ID dari Kompas.com, Fahmy Radhi mengatakan bahwa sebenarnya PLN tak bisa serta merta menutup biaya ganti rugi dengan memangkas gaji para pegawai.
Sebab hal tersebut menurut Fahmy Radhi tak sesuai dengan aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No 27 tahun 2017.
"Tidak benar justru menyalahi aturan yang ada. Kalau PLN memberikan kompensasi harus ada dasar hukumnya dalam hal ini Permen 27/2017," ujar Fahmy Radhi ketika dihubungi Kompas.com.
Menurut Fahmy Radhi, seharusnya PLN menggunakan dana operasional maupun cadangan yang berasal dari pendapatan laba.
Tak hanya itu, dana eksternal seperti pinjaman konsorsium perbankan dan global bond harusnya bisa digunakan sebagai biaya kompensasi.
Diketahui, pada tahun 2018, PT PLN tercatat mendapatkan laba sebesar Rp 11,6 triliun.
Sedangkan pada tahun ini saja, PLN telah tercatat mendapat laba sebesar Rp 4,2 triliun.
Sehingga rasanya gagasan memotong gaji karyawan untuk membayar biaya ganti rugi dirasa tidak efektif atau pantas untuk dilakukan.
"Memang selama ini PLN tidak menggunakan dana APBN, tetapi menggunakan dana internal yang dibentuk dari laba tahunan dan dana eksternal dari pinjaman konsorsium perbankan dan global bond
Kompensasi bisa dari dana operasional atau dana cadangan, yang lebih bisa dipertanggungjawabkan," pungkas Fahmy Radhi.
(*)