Oemar Barack, Tokoh Anti-Belanda dari Samarinda, Ternyata Kakek dari Suami Syahrini, Reino Barack

Selasa, 30 Juli 2019 | 19:37
Dok. MUHAMMAD SARIP/Kompas.com

Gambar Kakek Reino Barack, tercantum dalam buku tentang sejarah perjuangan melawan Belanda di Kota Samarinda

Sosok.id - Siapa sangka, suami dari penyanyi kenamaan Syahrini, Reino Barack adalah cucu dari seorang tokoh anti-Belanda dari Samarinda.

Kabar pernikahan Syahrini dan Reino Barack beberapa bulan lalu sempat mengejutkan publik.

Pasalnya, sebelum memutuskan untuk menikah dengan Syahrini, Reino Barack sempat menjalin hubungan dengan Luna Maya cukup lama.

Lantas, kabar pernikahan mereka pun menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Publik pun mulai kepo dan berusaha mencari tahu tentang siapa Reino Barack.

Baca Juga: Kisah Sintong Panjaitan, Jenderal TNI Jebolan Kopassus yang Pernah Dibentak Soeharto Sampai Ketakutan Saat Hadapi Pemberontakan Timor Timur

Dilansir dari Kompas.com, Reino ternyata adalah cucu dari Oemar Barack.

Ayah Reino, Rosano Barack adalah putra kedua Oemar Barack.

Siapakah Oemar Barack itu?

Ia adalah salah satu tokoh anti-Belanda yang berasal dari Samarinda, Kalimantan Timur.

Peneliti sejarah muda Kota Samarinda Muhammad Sarip mengatakan bahwa kakek Reino itu lahir di Samarinda pada tahun 1917.

Baca Juga: Kisah Menegangkan Dua Personel TNI Masuki Sarang Pemberontak Papua Tanpa Dibekali Senjata, Namun Misi Malah Berhasil Dituntaskan

Orang tua serta paman-pamannya adalah tokoh Kampung Handel Maatschappij Borneo Samarinda HBS.

Mereka adalah pengurus organisasi Sarekat Islam.

"Moyang mereka berasal dari tanah Banjar di selatan Kalimantan," ujar Sarip.

Dilansir dari Situsbudaya.id, Kampung HBS merupakan cikal bakal dari berdirinya Kota Samarinda.

Saat ini kampung ini berada di Pasar Pagi.

Baca Juga: Sosok Kontroversial Boris Johnson, Perdana Menteri Baru yang Berjanji Akan Bawa Inggris Keluar Uni Eropa

Berdasarkan catatan Sarip, Oemar pernah menempuh pendidikan di Wasseda University, Tokyo.

Tepatnya pada tahun 1939 atau tiga tahun sebelum Jepang datang ke Nusantara.

Saat itu ia masih berusia 22 tahun.

Ia juga menjadi penyiar Radio Tokyo.

Tepatnya pada tahun 1941, saat Perang Asia Timur Raya berkecamuk.

Baca Juga: Budi Gunawan, Sosok di Balik Pertemuan Jokowi dan Prabowo, Berikut Sepak Terjangnya Sebagai Kepala Badan Intelejen Negara

Melalui radio tersebut, Oemar meluapkan kekesalannya terhadap Belanda.

Karena mereka menjajah Nusantara, termasuk Samarinda.

"Dengan suara menggelegar, Oemar mempropagandakan misi Jepang membebaskan Indonesia dari penjajah Belanda," jelas Sarip.

Keberpihakannya terhadap Jepang itu ia gunakan untuk membangkitkan nasionalisme rakyat untuk anti-Belanda.

Pada tahun 2002, Oemar menghubungi seorang tokoh Samarinda yang juga sahabatnya.

Baca Juga: Kisah Sedih Jodi, Bocah 7 Tahun di Kuningan yang Bersekolah Tanpa Pakaian Layak dan Alas Kaki

Melalui telepon, ia berpesan kepada sahabatnya, "Semoga buku yang Dinda rencanakan akan selesai pada waktunya."

Kemudian, seminggu setelah itu ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Ia wafat di usianya yang ke 85 tahun.

Sementara, sahabatnya berhasil menyelesaikan bukunya setahun kemudian.

Buku itu berjudul "Kalimantan Timur: Apa, Siapa dan Bagaimana".

Baca Juga: Kisah Pilu Whale 52, si Paus Paling Kesepian di Dunia yang Tak Bisa Temukan Jodoh Atau Kawanan Gara-gara Dianggap Bisu

Penulisnya adalah Abdoel Moeis Hassan.

Dua tahun setelah buku itu terbit, sang penulis itu menyusul sahabatnya menghadap ilahi.

Abdoel Moeis Hassan sendiri adalah seorang pejuang pembela Republik Indonesia (Repbliken).

Ia menjadi calon Pahlawan Nasional pertama dari Kalimantan Timur.(*)

Editor : Seto Ajinugroho

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya