Dalam tugasnya, konsorsium itu diminta untukmenyediakan dana penyelenggaraan SEA Games XIX Tahun 1997.
Kementerian Sekretariat Negara, menyebutkan saat itu rupanya konsorsium swasta kekurangan dana sehingga harus ditalangi oleh pemerintah.
Disebutkan, negara saat itu harus menalangi kekurangan dana dari pihak konsorsium swasta atau KMP sebesar Rp 35 miliar yang akhirnya menjadi utang yang terus ditagih pemerintah hingga saat ini.
Bambang Trihatmodjo melalui kuasa hukumnya, Shri Hardjuno Wiwoho, mempertanyakan motif politik dibalik mencuatnya kasus dana talangan ini.
Shri Hardjuno Wiwoho mengatakan, sejak awal uang Rp 35 miliar yang diberikan untuk dana talangan bukan bersumber dari APBN, melainkan dari dana pungutan reboisasi pihak swasta yang ditampung di Kementerian Kehutanan.
Oleh sebab itu, ia menilai, persoalan dana talangan ini seperti sekedar menyinggung pribadi Bambang Trihatmodjo sebagai anak Presiden Soeharto yang merupakan bagian dari Orde Baru.
Padahal, menurut Hardjuno, penggunaan dana talangan tidak untuk kepentingan pribadi kliennya.
"Bila pemerintah bisa bijak bisa melihat masalah ini, bukan pada tendensi pribadi dan diduga kaitan Pak Bambang Trihatmodjo sebagai putra Presiden Soeharto. Apakah tidak bisa Kemenkeu menutup masalah ini?," ujar Hardjuno dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, dikutip pada Minggu (27/3/2022).
"Karena bilamana kita melihat historis permasalahan ini, sumber dari dana talangan ini pun bukan dari APBN. Kita trace (telusuri) itu bukan dari kas Kemensetneg tapi dari Kementerian Kehutanan, sumbernya dari dana reboisasi. Dana yang memang didapatkan dari pihak swasta," lanjutnya.
Dana talangan Rp 35 miliar tersebut diberikan negara melalui PT Tata Insani Mukti (TIM). Oleh sebab itu, menurut Hardjuno, sejak awal kewajiban membayar dana talangan yang kini ditagih sebagai piutang negara, bukanlah kepada Bambang Trihatmodjo, melainkan TIM yang patut bertanggung.