“Awalnya seperti itu, tapi kok lama-lama ada seperti ini, itu saya kurang tahu,” tambah Nanda.
Berdasarkan pengamatannya, ritual yang digelar Hasan dan pengikutnya di pantai Payangan bukanlah ritual pertama.
Anggota kelompoknya pun tidak sebanyak sekarang, yang tak sedikit datang bergabung untuk berobat dan mengadu tentang permasalahan ekonomi dan keluarga.
"Namun orangnya (dulu) tidak sebanyak sekarang," katanya.
“Kayaknya orang yang datang ke sana itu yang susah, mungkin sakit atau kesulitan ekonomi dan masalah keluarga,” papar Nanda.
Anak sulung dari korban ritual maut Pantai Payangan, SAM (15) mengemukakan kesaksiannya soal kegiatan yang dilakukan kedua orang tuanya Syaiful Bahri (40) dan Sri Wahyuni (35) yang tewas terseret ombak.
Ia mengatakan bahwa sang ayah sudah mengikuti ritual di pantai Payangan sebanyak 3 kali, di mana yang kedua baru saja digelar beberapa hari sebelum ia tewas.
"Kalau ritual di Pantai Payangan, ayah sudah ikut tiga kali, yang kedua, sekitar 10 hari lalu," ujar SAM mengutip dari TribunJakarta.com.
Selain ke pantai, SAM mengatakan bahwa ritual yang dilakukan kedua orang tuanya juga kerap dilakukan di daerah pegunungan.
"Ritualnya ada ke Pantai Payangan, ada juga ke pegunungan," tambahnya.
Bahkan SAM mengaku pernah diajak oleh ayahnya untuk ikut bergabung, bersaksi jika para anggota kelompok akan mengenakan kaos berwarna hitam dengan logo Tunggal Jati Nusantara saat menjalani ritual.
"Semuanya berpakaian hitam," ucap SAM. (*)