Melansir Express.co.uk, AS dan Beijing telah terlibat dalam perang mulut di Laut China Selatan selama bertahun-tahun. Belakangan, ada kekhawatiran besar akan konflik di wilayah yang dijuluki perairan termahal di dunia tersebut.
Pentingnya penyertaan tersebut dikemukakan oleh Laksamana Muda Robert Gaucher, direktur markas besar maritim dengan AS Armada Pasifik.
"Kami sedang mempersiapkan untuk awal 2021 agar dapat menjalankan masalah pertempuran armada yang berpusat pada (teknologi) tak berawak. Drone itu akan ada di laut, di atas laut, dan di bawah laut saat uji coba nanti," jelasnya.
Menurut Eurasiantimes.com, keputusan tersebut dielu-elukan sebagai "terobosan besar" bagi AS. Operasi pelatihan secara rutin terjadi di perairan, oleh semua negara yang mengklaim wilayah tersebut.
Angkatan Laut AS secara teratur menjalankan masalah pertempuran armada, yang memungkinkan militer untuk menguji bagaimana mereka akan mengerahkan pasukannya jika konflik meletus.
AS juga dilaporkan membutuhkan dana sekitar US$ 2 miliar untuk memproduksi 10 kapal permukaan tak berawak selama lima tahun ke depan. Permintaan ini masih mendapat tantangan dari Kongres.
China mengklaim hampir semua Laut China Selatan yang strategis. Negara lain yang memperdebatkan hak mereka atas perairan termasuk Brunei, Indonesia, Taiwan dan Filipina.
Kejadian ini, bersama dengan kritik lain dari AS seputar penanganan China atas Hong Kong, telah menyebabkan hubungan diplomatik merosot ke posisi terendah baru.
Di antara kekhawatiran banyak pakar politik atas perselisihan yang sedang berlangsung ini adalah kemungkinan bahwa peningkatan patroli dari kapal Angkatan Laut AS dapat menyebabkan konflik yang tidak disengaja.