Alasan dari aturan itu adalah pakaian dalam anak-anak harus sederhana dan tidak menimbulkan kesan seksual.
Mereka mewajibkan warna pakaian dalam putih, terutama bra putih, agar warnanya tidak tembus dari seragam.
Kemudian salah satu dari 13 SMP itu ternyata secara berkala memeriksa warna bra yang dikenakan para siswi.
Diberitakan SoraNews24 pada Selasa (17/11/2020), para siswi (berusia antara 12-15 tahun) tidak diharuskan melepas pakaian saat diperiksa, tapi tali bra mereka akan ditarik oleh guru untuk diperiksa warnanya.
Pemeriksaan itu dilakukan guru wanita, tetapi asosiasi pengacara tetap menganggap praktik tersebut tidak pantas.
"Menyuruh seseorang untuk memperlihatkan pakaian dalamnya adalah pelanggaran hak asas manusia.
Itu tidak bisa diterima hanya karena anak-anak yang disuruh," kata mereka.
Pernyataan itu termasuk bagian dari laporan yang disampaikan ke Dewan Pendidikan Prefektur Saga untuk menyerukan reformasi peraturan sekolah.
Aturan-aturan aneh lainnya yang dituliskan laporan itu adalah larangan gaya rambut soft mohawk, tidak boleh pakai syal saat berseragam, dan aturan berpakaian/gaya rambut yang berbeda tergantung jenis kelamin murid.
Selain itu dibahas pula ambiguitas larangan pemakaian media sosial untuk melindungi privasi murid, tetapi mereka harus memakai emblem nama di seragamnya dan bisa dibaca siapa pun yang bertemu mereka di luar sekolah.