Klaim ini tetap dipertahankan saat Partai Komunis menjadi penguasa China pada 1949. Namun, pada 1953, pemerintah China mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta "eleven-dash line" buatan Kuomintang.
Pemerintah Komunis "menyederhanakan" peta itu dengan mengubahnya menjadi "nine-dash line" yang kini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu.
Celakanya, klaim China itu kini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di kawasan tersebut. Kini tak kurang dari Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam dan Malaysia berebut wilayah tersebut dengan China.
Pada 1974, setahun setelah keterlibatan AS di Vietnam resmi diakhiri dengan Perjanjian Damai Paris, China bergerak cepat "mengamankan" wilayah ini.
Militer China dikirim untuk menduduki sisi barat Kepulauan Paracel. Mereka mengibarkan bendera dan mengalahkan satu garnisun pasukan Vietnam di sana.
Pasukan Vietnam mundur dan mendirikan pos permanen sekaligus menduduki Kepulauan Spratly. Di saat yang sama China memperkuat militernya di Pulau Woody, pulau terbesar di Kepulauan Paracels.
Setelah Vietnam Utara dan Selatan bersatu dan membentuk Republik Sosialis Vietnam, negeri itu tetap mengukuhkan klaim terhadap Spratly dan Paracels.
Vietnam mengklaim China tak pernah mengklaim kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracels sebelum 1940-an.
Sementara, Vietnam mengaku telah menguasai kedua kepulauan tersebut sejak abad ke-17 dan mengklaim memiliki berbagai dokumen itu membuktikan hal tersebut.
Seolah dua negara belum cukup untuk memanaskan situasi di kawasan tersebut, Filipina ikut meramaikan suasana dengan mengklaim kepemilikan Kepuluauan Spratly.