Teringat saat pertama kami merintis usaha ini, aku membantunya berjualan kartu perdana seluler kepada para bule di kuta, sambil kuliah. Menjajakan pulsa dan menyewakan handphone kepada para turis. Mas Arif yang mengajari aku untuk tangguh, mengenalkan arti kerja keras.
Romantisme muncul saat uang kami tersisa sepuluh ribu. Mas Arif membeli dua bungkus nasi jinggo, masing masing seharga empat ribu. saat dimakan ternyata sudah basi.Mas Arif tampak kecewa tidak bisa memberiku makanan yang layak.
Sisa uang dua ribu, dibelikan gorengan untukku. Itulah, satu satunya makanan yang masuk keperutku. Aku terenyuh sekali. Romantis!
Mobil kami memasuki rumah. Anak anak menyambut dan memeluknya. Mereka rindu sekali. Selesai bermain, Arif bergegas mandi. Dan aku menidurkan anak anak.
Setelah mereka terlelap aku duduk diruang tv menanti jawaban dari berbagai pertanyaan belasan hari belakangan ini.
27 February 2019
Tanganku lancang membuka handphone Arif. Setelah pengakuannya yang lalu, aku masih belum berdamai dengan diriku. Perasaan hancurku membuat enggan membahas atau bertanya lebih jauh.
Aku memilih mencari tahu dengan tanganku sendiri. Pun Arif, terkadang sosok yang dingin. Tidak sedikitpun dia berusaha mengajakku bicara, meminta maaf atau menenangkanku.
Ponselnya disembunyikan di atas rak buku. Tak sadar airmataku mengalir. Kutemui ratusan foto mereka. Hatiku tersayat ... ngilu. Aku dalam kecemasan yang amat sangat saat ia menghilang selama 12 hari.