"Oh, mungkin belum pulang sholat subuh dari mushola," batinku. Tapi, terlihat kamar masih rapi. Selimut terlipat, bantal dan guling masih tersusun. Tidak terlihat kasur yang habis ditiduri.
Aku bingung, suamiku tidak izin menginap di kantor. Kuambil ponsel dan menghubunginya. Tersambung, tapi tidak ada jawaban. Kuulangi hingga berkali kali . Nihil.
Kulihat jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, langit sudah terang, gak mungkin dia di mushola selama ini. Aku mulai jengkel, kutelepon supir kantor. Kucecar Selamet dengan pertanyaan.
“Lho Mba, sampeyan kan, istrinya! Moso mas Arif ga ada ngabarin?” jawab Selamet kaget.
“Kemana dia?”
“Ga tau aku mba! Cuma nganter ke bandara tok wingi....”
Reflek kuperiksa brankas mini yang terletak dilemari. Pasportnya tidak ada. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Aku duduk dikamarnya mencari pentunjuk.
Semenjak anak keduaku lahir, memang suami lebih nyaman tidur dikamar ini. Kecil tapi tenang baginya, tidak terganggu suara tangis bayi.
Setiap pulang kantor seringnya malam hari, rutinitas kami adalah bercengkrama di ruang tv sampai lelah. Dia terkadang mengajakku bercerita di kamar ini sampai terlelap.
Kemudian aku pindah ke kamar utama kami, karena di sanalah anak anak kami tidur. Arya masih sering terbangun tengah malam berteriak mencariku, minta dipeluk.