Pendekatan yang dimaksud adalah, dengan memberikan remisi kepada napi yang berada di dalam lapas yang overcrowding (melebihi kapasitas).
Sehingga mereka dapat dibebaskan dan lapas menjadi lebih luas bagi napi lainnya yang belum bebas.
Baca Juga: Komentarnya Soal RKUHP Dikatai Bodoh Oleh Yasonna, Dian Sastro Berikan Tanggapan Menohok
"Tahanan mana yang tidak bisa melakukan physical distancing (itu yang dikeluarkan)," kata Erasmus dalam sebuah diskusi, Minggu (5/4/2020), seperti dikutip Sosok.ID dari Kompas.com.
Menurut keterangannya, saat ini lapas di Indonesia telah mengalami overcrowding hingga 105 persen.
Dari sekitar 270 ribu napi yang ditampung, kelebihan bebannya mencapai 140 ribu napi.
Menurutnya, kelebihan beban itu disebabkan oleh sistem hukum di Indonesia yang belum ada reformasi.
Sebab, banyak hukum pidana yang tak memberikan opsi kepada hakim untuk menerapkan hukuman alternatif selain penjara.
Erasmus berpendapat, bila pemerintah memang harus memukul rata pemberian remisi, ia berharap bukan napi koruptor yang dibebaskan.
Pasalnya napi koruptor telah menerapkan physical distancing mengingat setiap satu sel hanya diisi oleh satu orang.
"Menurut ICJR yang seharusnya dikeluarkan adalah pengguna dan pecandu narkotika. Karena nomor satu mereka tidak harusnya di dalam," kata dia.