Sembilan garis putus-putus yang dipercayai China merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China sendiri tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS).
Sebelumnya, Indonesia bukanlah bagian dari pihak yang bersengketa dengan China soal Laut China Selatan.
Adapun, pihak yang sebelumnya bersengketa adalah Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Taiwan.
Namun, masih dari sumber yang sama, Indonesia dan China terlibat silang pendapat usai 50 perahu nelayan China yang dilindungi kapal penjaganya memasuki Laut Natuna karena menganggap Natuna bagian dari perairan tradisionalnya.
Indonesia kemudian mengajukan nota protes yang dilayangkan ke pihak Beijing.
Protes tersebut ditanggapi dengan penyebutan dari pihak Beijing bahwa ada tumpang tindih otoritas di perairan Natuna.
Menanggapi hal itu, Kementerian Luar Negeri secara tegas menegaskan tak ada “overlapping yurisdiction” di perairan Natuna.
Natuna bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia sebagaimana diatur dalam UNCLOS.
Sikap rivalitas
Sementara itu, pakar geopolitik asal Jepang Kunihiko Miyake menilai seharusnya Indonesia bisa membangun kerja sama dengan negara-negara lain yang sama-sama menghadapi masalah klaim China.
“Kita tidak seharusnya mengkonfrontasi China sendiri-sendiri karena China negara yang terlampau kuat.