Follow Us

Menjadi Saksi Ganasnya Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Wanita Eropa Ini Merinding Disuguhi Tontonan Mengerikan

Seto Ajinugroho - Rabu, 16 Oktober 2019 | 13:17
Menjadi Saksi Ganasnya Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Wanita Eropa Ini Merinding Disuguhi Tontonan Mengerikan
Charles Hose/Tropenmuseum

Menjadi Saksi Ganasnya Suku Pemburu Kepala di Kalimantan, Wanita Eropa Ini Merinding Disuguhi Tontonan Mengerikan

Sibau Mobang, lelaki berusia sekitar 50-an tahun, kepala suku Dayak Tring yang mempunyai tradisi kanibal. Litografi dari 'The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku karya Carl Alfred Bock itu  berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.
Mahandis Yoanata Thamrin

Sibau Mobang, lelaki berusia sekitar 50-an tahun, kepala suku Dayak Tring yang mempunyai tradisi kanibal. Litografi dari 'The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku karya Carl Alfred Bock itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.

Kedua kenang-kenangan atas kemenangan perang itu baru diperoleh beberapa hari sebelumnya dan menampakkan pemandangan yang mengerikan. Kepala itu nantinya diasap hingga dagingnya setengah matang, bibir dan telinga melayu. “Kepala-kepala itu tetap dengan rambutnya,” demikian kisah Ida, “dan salah satu kepala itu bahkan matanya membelalak.”

“Melihat sepasang trofi perang nan ganteng dari dua kepala manusia yang baru saja ditebas.”
Mereka mengeluarkan trofi kepala itu dari keranjang, yang kemudian menggantungnya untuk memamerkan dengan rasa puas dan bangga kepada Ida. Tradisi mengayau—berburu kepala musuh untuk dijadikan trofi—tampaknya telah menjadi bagian suku-suku pedalaman di Hindia. Setelah menyaksikan semua adegan liar itu, Ida merenung, apakah berarti orang Eropa seperti dirinya jauh lebih beradab dari mereka? Bukankah dalam setiap lembaran sejarah Eropa diwarnai dengan perbuatan mengerikan pengkhianatan dan pembunuhan, demikian kecamuk pertanyaan dalam benaknya. Apa yang akan kita katakan tentang perang religius antara Jerman dan Prancis, penaklukkan Amerika, pertumpahan darah di Timur Tengah, hingga Inkuisisi Spanyol?

Bagi Ida, tampaknya melancong tidak sekadar berpindah tempat, tetapi juga menuntunnya supaya punya pemikiran terbuka tentang ragam peradaban dan kerendahan hati.

Baca Juga: Keji, Orangtua Kubur Bayinya Hidup-hidup di Dalam Pot Bunga

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Litografi karya Adolf Dauthage, 1825–1883.
Adolf Dauthage, 1825–1883

Sosok Ida Laura Reyer Pfeiffer dalam busana melancong dari kain linen warna kelabu. Litografi karya Adolf Dauthage, 1825–1883.

“Saya tidak berpikir bahwa kita orang Eropa dapat berkata banyak tentang kebiadaban ini,” paparnya. Menurutnya, bangsa Eropa juga membunuh musuh dan bahkan menyiksa musuh mereka—dengan berbagai alat dan cara penyiksaan—sementara orang-orang Dayak membunuh musuh tanpa menyiksanya. “Dan apa yang telah mereka lakukan, mungkin kita dapat memaafkan mereka yang tidak mendapat pencerahan agama dan budaya intelektual.”

Kisah ini merupakan cuplikan dari A Lady's Second Journey Round the World: From London to the Cape of Good Hope, Borneo, Java, Sumatra, Celebes, Ceram, the Moluccas, Etc., California, Panama, Peru, Ecuador, and the United States, Volume 1. Buku tersebut merupakan catatan perjalanan Ida Laura Reyer Pfeiffer yang terbit di London pada 1855. (Mahandis)

Artikel ini pernah tayang di National Geographic dengan judul "Kesaksian Perempuan Eropa tentang Pemburu Kepala Manusia di Kalimantan"

Source : National Geographic

Editor : Sosok

Baca Lainnya

Latest