Atik mengaku cukup sedih ditinggal sang anak berlatih ke Jakarta.
Pasalnya, ia yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kebun sawit tak memiliki penghasilan tetap untuk membiayai sang anak berlatih di kota orang.
"Saya tidak punya uang. Saya hanya kerja serabutan di kebun sawit dan karet orang lain. Kadang satu hari dapat gaji Rp 75 ribu. Itu pun enggak tiap hari," aku Atik.
Atik juga sedih tak bisa menghubungi sang anak lantaran Asraf tak memiliki ponsel seperti anak-anak sebayanya.
Kendati demikian, Atik merasa bangga dengan prestasi sang anak dan mengharapkan yang terbaik untuk Asraf.
"Saya sangat bangga sama Asraf. Saya kangen sekali sama dia. Dia gak pegang HP jadi enggak bisa dihubungi. Saya harap Asraf sukses pada saat pengibaran bendera nanti," tutup Atik.
(*)