Sosok.ID - Dekade 1960-an Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI/TNI AU) sempat merajai udara bumi bagian selatan.
Pasalnya asupan alutsista negeri ini tiba-tiba melonjak drastis gegara disuplai berbagai macam mesin perang dari Uni Soviet.
Sebut saja macam dari AD, AU hingga AL semua persenjataannya mayoritas dari Uni Soviet.
Akan tetapi setelah terjadinya G30S/PKI, kedigdayaan itu menjadi sirna.
Lumpuhnya kekuatan udara TNI AU akibat G30S/PKI pastilah berimbas pada tingkat kesiapan dalam menjalankan sebuah operasi militer.
Hal ini terjadi pada Operasi Seroja merebut Timor Timur di mana TNI AU harus menggunakan pesawat tua lansiran Perang Dunia II macam B-25 Mitchell dan C-47 Dakota sebagai tulang punggung operasi.
Soeharto, Presiden Indonesia kala itu sadar bahwa kekuatan TNI AU harus disegarkan kembali demi menjaga eksistensi tentara langit mengawal kedaulatan Republik.
Maka dengan lobi-lobi, Indonesia berhasil membeli jet tempur kelas 'sangar' pada waktu itu yakni F-5E Tiger dari Amerika Serikat dan A4-E Skyhawk bekas pakai AU Israel.
Namun tak mudah bagi para pilot TNI AU menerbangkan F-5E.
Melansir Kompas.com yang menukil dari buku Elang Tanah Air di Kaki Lawu: Sejarah Pangkalan Udara Iswahjudi, 1939-2003. KSAU Marsekal Yuyu Sutisna yang dulu merupakan pilot F-5E mengatakan perlu keahlian khusus menerbangkan si Freedom Fighter.
"Bentuknya sangat ramping sehingga kecepatannya tinggi dan harus pas mengatur pendaratan. Sangat mudah terjadi over shoot-melewati pendaratan-sehingga pesawat celaka," kata Yuyu.
Yuyu juga mengalami era transisi di mana F-5E diupgrade kemampuannya dari sistem analog ke komputerisasi.
Program upgrade kemampuan itu diberi nama Modernisation of Avionics Capabilities for Armament and Navigation (MACAN).
Pemenang kontrak adalah SABCA, sebuah perusahaan Belgia. Pada 1995, dialokasikan waktu 18 bulan untuk memodernisasi F-5E Tiger.
Namun Yuyu mengkisahkan ada keterlambatan waktu modernisasi karena kendala pembuatan konfigurasi sistem avionik yang harusnya selesai tujuh bulan malah molor sampai dua tahun.
"Saya adalah salah satu penerbang yang menguji dan menerbangkan pesawat program MACAN tersebut. Pesawat ini unik, bisa start scramble dengan satu mesin, lalu menjelang take off menyalakan mesin kedua," kata Yuyu Sutisna.
Yuyu juga menceritakan bagaimana ia bersama pilot F-5E Tiger lainnya pernah terjebak awan badai (Cumulonimbus) di atas Perairan Laut Jawa Utara Cirebon ketika terbang dari Pekanbaru ke Lanud Iswahjudi, Madiun.
"Selama tiga-empat menit kami terjebak Cumulonimbus. Bahkan, pesawat yang diterbangkan Errys Heryanto dihantam petir di bagian ekor. Pesawat anjlok dari ketinggian 37.000 kaki (10,6 kilometer) ke 13.000 kaki (4.000 meter). Kami tidak bisa saling berkomunikasi dan saling menjaga heading arah pesawat agar tidak bertabrakan," kata Yuyu.
Semenjak didatangkan pada 21 April 1980, F-5E Tiger selalu dilibatkan dalam segala operasi militer maupun pengamanan yang dilakukan oleh TNI AU.
Pernah tepatnya pada 3 November 1989 Mayor Dradjad Rahardjo dan Letda Agung Sasongkojati sebagai juru kamera menerbangkan F-5E Tiger.
Misi mereka ialah merekam penembakan rudal penghancur kapal Harpoon ketika terbang menuju target.
Gila memang, F-5E harus memacu kecepatan sampai 0,93 Indicated Mach Number atau 1.000 km per jam membuntuti laju rudal Harpoon.
Salah sedikit saja dalam perencanaan operasi tersebut fatal akibatnya karena senggolan bisa saja terjadi antara rudal dan F-5E. (Seto Aji/Sosok.ID)