Mereka pun menggunakan segala cara, mulai dari eksperimen, teori dan pemodelan.
Untuk pemodelan, ada dua jenis yakni backward modelling dan forward modelling.
Backward modelling atau permodelan mundur adalah menentukan karakter tsunami dari data hasil yang ada.
Contohnya adalah mencari tahu korelasi antara ketebalan endapan tsunami dengan tinggi tsunami.
Sayangnya hingga saat ini, para peneliti belum bisa menemukan formulasinya karena secara umum saja, tebal-tipisnya endapan tsunami tergantung pada ketersediaan materi di laut maupun pantai yang bisa dibawa dan diendapkan di darat.
Dengan demikian kalaupun magnitudo atau ketinggian gelombang tsunaminya sama, hasil endapannya bisa berubah-ubah.
Sebaliknya, forward modelling atau permodelan maju adalah ketika para peneliti memperkirakan berapa ketinggian tsunami yang bisa dipicu oleh suatu potensi gempa.
Dengan kata lain, pemodelan ini didasarkan pada karakteristik sumber utamanya untuk menentukan besaran tsunaminya.
“Itu juga bisa dilakukan, meskipun akurasinya juga tergantung pada banyak faktor, misalnya ketersediaan data batimetri (kedalaman laut) dan topografi (bentuk permukaan Bumi) akurat yang keduanya tidak kita miliki,” ujar Eko.
Eko menuturkan bahwa peta topografi yang paling detail di Indonesia skalanya baru 1:25.000 dan itu pun hanya melingkupi wilayah Jawa.