Hindari Awan Petir, Pesawat Garuda Gonjang-ganjing di Udara dengan Mesin Mati, Pilot Secara Ajaib Sukses Mendarat di Bengawan Solo Tanpa Roda dan Sayap, Begini Kisahnya!

Selasa, 12 Januari 2021 | 13:13
Airlive.net

Hidung pesawat Boeing 737-300 Garuda Indonesia GA421 yang rusak akibat menerjang badai es.

Sosok.ID - Kisah pendaratan darurat pesawat Garuda di anak sungai Bengawan Solo tanpa roda dan menjulurkan sayap, telah memasuki tahun ke-19 di Januari 2021.

Tepatnya pada 16 Januari 2002, pesawat B737-300 Garuda Indonesia penerbangan GA421 itu melakukan pendaratan setelah mesinnya mati saat sedang terbang.

Pesawat itu menembus badai hujan dan es, berusaha menghindari awan hitam dengan petir.

Pesawat rute Lombok - Yogyakarta itu membawa 54 penumpang dan 6 kru.

Baca Juga: Garuda Indonesia Kembali Jadi Sorotan Dunia Setelah Diperiksa KPK Inggris Gegara Kasus Suap dan Jual Beli Pesawat, Begini Penjelasannya!

Seluruh penumpang selamat, tetapi seorang kru awak kabin ditemukan tewas, diduga akibat benturan saat pesawat mendarat.

Peristiwa itu menghasilkan salah satu masukan yang penting untuk dunia penerbangan, khususnya pabrikan mesin pesawat berdasar investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Namun sebelum melompat ke kesimpulan hasil investigasi dan rekomendasi KNKT, mari mengulas kembali kisah keajaiban yang terjadi 15 tahun yang lalu itu.

GA421 dijadwalkan terbang dari Selaparang, Mataram, pada pukul 15.00 WITA.

Baca Juga: 'Ditemukan Serpihan Daging, Mungkin Tubuh Manusia', Sriwijaya Air SJ 182 Tak Pancarkan Sinyal Bahaya Saat Jatuh, Basarnas Lanjutkan Pencarian

Pesawat B737-300 registrasi PK-GWA yang dipiloti oleh Kapten Abdul Rozak itu kemudian menuju ketinggian jelajah 31.000 kaki.

Pesawat dijadwalkan tiba di Yogyakarta sekitar pukul 17.30 WIB.

Namun saat meninggalkan ketinggian jelajah untuk turun ke bandara Adisutjipto, di atas wilayah Rembang, kapten penerbangan memutuskan untuk sedikit menyimpang dari rute seharusnya, atas izin ATC.

Hal itu dilakukan karena di depan terdapat awan yang mengandung hujan dan petir.

Baca Juga: Pesawat Indonesia Sering Jatuh Jadi Sorotan Media Asing, PernahDilarang Terbang ke AS dan Uni Eropa

Kru pesawat mencoba untuk terbang di antara dua sel awan badai.

Sekitar 90 detik setelah memasuki awan yang berisi hujan, saat pesawat turun ke ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi mesin dalam posisi idle, kedua mesin tiba-tiba mati dan kehilangan daya dorong (thrust).

Pilot dan kopilot pun saat itu mencoba untuk menghidupkan unit daya cadangan (auxiliary power unit/APU) untuk membantu menyalakan mesin utama, tetapi tidak berhasil.

Penyelidikan yang dilakukan menyebut bahwa kru kokpit mencoba menyalakan mesin dengan interval setiap satu menit.

Baca Juga: Meledak di Sekitar Pulau Seribu, Nelayan Temukan Puing-puing Diduga dari Pesawat Sriwijaya Air SJ182: Kabel, Jok, dan Ada Rambutnya

Manual B737 yang dikeluarkan Boeing menyebut APU mesti dinyalakan dalam interval 3 menit sekali.

Ketika pesawat sampai di ketinggian 8.000 kaki, dan kedua mesin belum berhasil di-restart, pilot melihat alur anak sungai Bengawan Solo dan memutuskan untuk melakukan pendaratan di sana.

Pesawat pun melakukan ditching tanpa mengeluarkan roda pendaratan maupun flaps (menjulurkan sayap).

Saran untuk industri mesin pesawat Penyelidikan yang dilakukan oleh KNKT menyimpulkan bahwa pelatihan yang diberikan maskapai Garuda Indonesia kepada pilot-pilotnya dalam hal interpretasi radar cuaca tidak sebagaimana mestinya dilakukan, hanya diberikan secara tidak formal.

Baca Juga: Pamit Balik ke Kampung Suami dengan Bayinya yang Baru 7 Bulan, Penumpang Sriwijaya Air SJ 182 Sempat Minta Didoakan, sang Ibu Pingsan Tahu Pesawat Hilang Kontak

Jika kru mengubah sudut radar cuaca pesawat ke bawah sebelum meninggalkan ketinggian jelajah, maka kemungkinan mereka akan melihat jalur awan di depan dengan lebih baik.

Airlive.net

Pendaratan darurat pesawat B737-300 Garuda Indonesia GA421 di anak sungai Bengawan Solo akibat mesin mati

Dari rekaman suara kokpit dan melihat kerusakan di hidung dan mesin pesawat, disimpulkan awan badai yang ditembus GA421 kala itu bukan hanya berisi hujan saja, melainkan juga butiran-butiran es.

Laporan menyebut air dan es tersebut memiliki kepadatan yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh mesin saat kondisi idle, sehingga tidak bisa dinyalakan ulang.

Berdasar temuan tersebut, maka diterbitkan rekomendasi kepada pabrikan mesin pesawat.

sriwijaya air

Baca Juga: Seolah Pertanda Terakhir, Korban Sriwijaya Air Sempat Minta Jika Meninggal Tak Ingin Dibawa Pulang, Adik Bungsu: Sekarang Kata-kata Itu Baru Terkenang

Mereka diminta untuk membuat prosedur bagaimana meningkatkan kemampuan mesin saat menghadapi situasi hujan badai dan es, yakni dengan meningkatkan RPM minimum menjadi 45 persen dan melarang penggunaan autothrust dalam kondisi presipitasi tinggi.

Selain itu, KNKT juga memberikan rekomendasi untuk memperbaiki metode pelatihan awak pesawat dalam membaca citra radar cuaca.

Pabrikan radar cuaca harus meningkatkan sistem radar cuacanya agar bisa lebih baik mengidentifikasi awan, serta perbaikan dalam prosedur pemeliharaan baterai pesawat untuk maskapai.

Baca Juga: Tercatat 11 Tahun Pernah Jadi Penerbang TNI AU,Pilot Sriwijaya Air SJ 182 yang Hilang Kontak Punya Pengalaman Terbang di Skadron Udara 4 dan Akadron Udara 31

Di sisi lain, saat ini Indonesia sedang berbela sungkawa atas peristiwa jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ 182.

Pesawat rute Jakarta - Pontianak itu hilang kontak empat menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pada Sabtu (9/1/2021)

Sriwijaya Air SJ 182 yang mengangkut 62 jiwa tersebut jatuh di Kepulauan Seribu. (*)

Sumber: Kompas.com.

Editor : Rifka Amalia

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya