Sosok.ID - Media pemerintah China, Global Times menanggapi sebuah artikel yang diterbitkan media AS The Voice of Amerika.
The Voice of America pada hari Sabtu merilis artikel berjudul "Vietnam mendapat dorongan dari sekutu Barat dalam pertahanannya melawan China".
Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa kepemimpinan Vietnam tahun ini di ASEAN telah membuka pintu untuk meningkatkan pertahanan negara melawan "saingan lama China" melalui hubungan yang kuat dengan Barat.
Artikel itu juga mengutip pendapat para ahli yang menyatakan bahwa Vietnam adalah salah satu "benteng pertahanan melawan China."
Melansir Global Times, Selasa (3/11/2020), China menyoroti pandangan Amerika Serikat (AS) terhadap Vietnam yang dianggap bertindak sebagai 'benteng melawan China' hanya mimpi yang tidak akan dicapai AS.
Pandangan dalam artikel itu mewakili angan-angan sebagian besar elit politik Amerika bahwa Vietnam dan anggota ASEAN lainnya akan meninggalkan kerja sama timbal balik mereka dengan China, dan mengabdikan diri pada kubu anti-China.
Beijing menganggap Washington telah meremehkan kebijaksanaan politik negara-negara ASEAN.
Wakil Menteri Luar Negeri AS Stephen Biegun mengatakan di bulan Agustus bahwa AS ingin melihat Vietnam, Korea Selatan dan Selandia Baru bergabung dengan Quad yang diperluas, menurut Asia Times.
China mengatakan bahwa hal itu menunjukkan ambisi AS untuk membentuk "NATO Asia."
Sementara itu Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo baru-baru ini telah melakukan tur di 5 negara Asia, dalah satunya menyelesaikan perjalanan kejutan ke Vietnam.
Pompeo mengatakan kepada Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc, "Kami sangat menghormati rakyat Vietnam dan kedaulatan negara Anda."
Namun, rentetan langkah AS dinilai China ditakdirkan akan sia-sia.
Pada tahun 2018, Vietnam mengambil alih Malaysia sebagai mitra dagang terbesar Tiongkok di ASEAN, dan Tiongkok telah menjadi mitra dagang terbesar Vietnam selama 15 tahun berturut-turut.
Vietnam merupakan negara penting bagi China untuk mempromosikan Belt and Road Initiative (BRI), terutama Jalur Sutra Maritim Abad 21, dan ekonomi Vietnam juga mendapat manfaat dari BRI.
Dalam keadaan seperti itu, semua negara akan mempertimbangkan kepentingan mereka sendiri alih-alih meninggalkan kerja sama yang saling menguntungkan dan bertindak sebagai "benteng" melawan China.
China dan Vietnam adalah negara sosialis. AS telah menekan kebangkitan China, kekuatan sosialis utama, dan Pompeo bahkan menyebut Partai Komunis China sebagai "tirani baru".
Ini sedikit banyak akan memicu kewaspadaan Vietnam.
Lagi pula, Global Times melaporkan, bagi sebagian elit politik Amerika, perselisihan ideologis telah tertanam di benak mereka, dan prasangka mereka terhadap negara-negara sosialis sulit untuk diubah.
Demi menekan China, Washington lebih memilih untuk sementara waktu meremehkan prasangka tersebut dan mencoba memenangkan hati Hanoi.
Namun dalam jangka panjang, orang juga akan menyadari bahwa begitu Vietnam sepenuhnya beralih ke AS, faktor ideologis akan menjadi duri dalam hubungan mereka.
Artikel yang diterbitkan VoA juga menyebutkan bahwa Vietnam menginginkan "teman yang kuat sebagai cadangan" untuk menangkis "ekspansi" China di Laut China Selatan.
China dan Vietnam memiliki sengketa wilayah maritim, tetapi ini bukanlah gambaran keseluruhan dari hubungan bilateral mereka.
Kedua negara memiliki kemampuan untuk menangani perselisihan ini dan mencegahnya menjadi aspek dominan dalam hubungan mereka.
Tetapi beberapa politisi Amerika terus menghasut Vietnam dalam upaya untuk membangkitkan nasionalisme ekstrim di negara itu.
Vietnam akan menyadari bahwa alat geopolitik tidak akan membantu mengurangi sengketa maritim.
Melakukan pengendalian terhadap masalah Laut China Selatan dan negosiasi damai adalah pilihan terbaik.
Di bawah paksaan AS, Vietnam dan beberapa negara Asia lainnya menghadapi tekanan yang meningkat untuk memihak.
Namun, tidak peduli bagaimana AS mencoba melobi, menjaga hubungan kerja sama dengan China dan AS akan tetap menjadi pilihan pertama negara-negara ini. (*)