Ngotot Pertahankan Klaimnya yang Jelas-jelas Ditentang Dunia, Kapal Coast Guard China Lagi-lagi Nyelonong Masuk ke Perairan Natuna, Mungkinkah Tiongkok Ingin Rebut 'Harta Karun' Ini?

Minggu, 13 September 2020 | 16:00
Dok. KOMPAS TV via Kompas.com

Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau

Sosok.ID - Lagi-lagi kapal coast guard China memasuki wilayah Peraian Natuna, Kepulauan Riau.

Dilansir Sosok.ID dari Kompas.com, sejak Sabtu (12/9/2020) pukul 10.00 WIB, kapal coast guard China terdeteksi di wilayah yuridiksi Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Laut Natuna Utara.

Badan Keamanan Laut RI (Bamkala) saat ini tengah berupaya untuk mengusir kapal dengan nomor lambung 5204 itu.

Bamkala juga telah berkoordinasi dengan Kemenkopolhukam dan Kemenlu untuk mengurus masalah tersebut.

Baca Juga: Pantas Kapal China Getol Bolak-balik, Rupanya Peraiaran Natuna Simpan 'Harta Karun' Bernilai Fantastis Selain Sumber Daya Ikan dan Alam yang Indah

Namun, kapal coast guard China masih bersikeras tak mau pergi.

Alasannya, mereka menganggap bahwa wilayah yang mereka lewati itu merupakan bagian dari nine dash line.

Sekadar informasi, nine dash line(sembilan gari putus-putus) adalah garis yang dibuat sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Dalam peta Laut China Selatan yang diterbitkan China mengacu pada nine dash line, wilayah perairan China membentang ribuan kilometer jaraknya dari daratan utama Tiongkok.

Baca Juga: PBB Telah Putuskan Klaim Sepihak China Terhadap Perairan Natuna Tidak Sah Sejak 2016, Ternyata Inilah 'Senjata' yang Digunakan Tiongkok Hingga Tak Kenal Takut Saat Masuki Wilayah Indonesia

Bahkan, klaim nine dash line itu berdampak pada hilangnya perairan Indonesia sekitar 83.000 kilometer persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna.

Namun, pada 2016 silam, PBB telah memutuskan klaim wilayah China terhadap keseluruhan wilayah Laut China Selatan tidak sah.

Insiden masuknya kapal coast guard di Peraian Natuna ini bukan pertama kalinya terjadi.

Sebelumnya, kapal China, baik kapal pencari ikan atau kapal coast guard, sudah sering memasuki wilayah Perairan Natuna.

Baca Juga: Tak Banyak Bersuara Sampai Disebut Lembek, Ternyata Diam-diam Prabowo Sudah Siapkan Cara Jitu untuk Hadapi Kapal-kapal China Tanpa Terjunkan Tentara di Natuna

Dimulai dari tahun 2016 di mana ada kapal ikan ilegal asal China masuk ke Perairan Natuna.

Kala itu pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut, namun tidak berjalan mulus.

Sebab, dalam proses penangkapan itu, kapal coast guard China ikut campur tangan dengan sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.

Kemudian, pada 19 Desember 2019 lalu, kapal-kapal asing penangkap ikan milik China kembali memasuki wilayah Peraian Natuna.

Baca Juga: Siap Pasang Badan Lindungi NKRI dari Konflik AS - Tiongkok yang Bisa Pecah Perang Sewaktu-waktu, TNI Siagakan 4 Kapal Perang di Perairan Natuna

Kala itu, 5 unit kapal perang serta 600 personel TNI sampai disiagakan di wilayah Perairan Natuna.

Seringnya kapal China bolak-balik ke Perairan Natuna rupanya bukan tanpa sebab.

'Harta karun' yang tersimpan di Perairan Natuna patut dijadikan alasan mengapa China bersikukuh mempertahankan klaim nine dash line-nya walau ditentang oleh UNCLOS.

Sebab, harta karun di Peraian Natuna bukan hanya sumber daya perikanan dan alamnya yang indah.

Baca Juga: Lagaknya Tawarkan Proposal Kekuatan Gabungan di Laut China Selatan, Nyatanya China hanya Galagasi ke Indonesia, Bakal Selalu Bermuka Dua hingga Berhasil Kuasai Perairan Natuna

Melainkan ada pula cadangan minyak dan gas (migas) yang tersimpan di dalamnya.

Melansir dari Harian Kompas, 23 Juli 2016, Haposan Napitupulu, mantan Deputi Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas menyebutkan bahwa, Perairan Natuna menyimpan cadangan minyak dan gas (migas) yang sangat besar.

Salah satu blok migas yang menyimpan cadangan terbesar di Natuna adalah lapangan gas Natuna D-Alpha dan lapangan gas Dara yang kegiatan ekplorasinya telah dilakukan sejak akhir 1960-an.

Kal itu, salah satu perusahaan migas asal Italia, Agip, melakukan survei seismik laut yang kemudian ditindaklanjuti dengan melakukan 31 pengeboran eksplorasi.

Baca Juga: Rayuan Mautnya Tak Mempan Bujuk Indonesia, Tiongkok Kini Pindah Haluan Pepet Negara Tetangga Tawarkan Kerja Sama Perdamaian di Laut China Selatan

Dari kegiatan tersebut, berhasil ditemukan cadangan migas terbesar dalam sejarah permigasan Indonesia selama 130 tahun terakhir.

Dengan cadangan gas 222 triliun kaki kubik (TCF) dan 310 juta bbl minyak, dengan luas 25 x 15 km persegi serta tebal batuan reservoir lebih dari 1.500 meter.

Sayangnya, sejak ditemukan pada 1973, lapangan gas D-Alpha ini masih belum bisa dieksploitasi.

Sebab, adanya kandungan gas CO2 yang mencapai 72 persen membutuhkan biaya yang sangat tinggi untuk mengatasinya.

Baca Juga: Baru Kemarin Sore Kim Jong Un Kirim Pasukan untuk Tembak Mati Siapapun yang Ada di Perbatasan China Demi Hentikan Covid-19, Korea Utara Dikabarkan Sedang Latihan untuk Gelar Parade Militer Besar-besaran di Pyongyang

Pada 1980, pengelolaan blok ini digantikan oleh Esso dan Pertamina.

Namun, tetap saja Esso yang kemudian bergabung dengan Mobil Oil menjadi Exxon Mobil ini belum berhasil mengeksploitasinya.

Walaupun pihaknya telah mengeluarkan biaya sebesar 400 juta dollar AS untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan kajian pengembangan lapangan.

Kini ada 13 perusahaan migas, dua di antaranya adalah perusahaan migas nasional, yang melakukan kegiatan operasi perminyakan di Laut Natuna.

Baca Juga: Bertindak Bagai Musuh dalam Selimut Bagi Timor Leste, Nyali Australia Nyatanya Langsung Ciut Saat Bumi Lorosae Minta Bantuan ke China Soal Ini

Enam blok di antaranya telah dan akan diproduksi, sementara 7 lainnya masih dalam tahap eksplorasi.

(*)

Editor : Dwi Nur Mashitoh

Sumber : Kompas.com, Harian Kompas

Baca Lainnya