Utang Negara Capai Rp 5.868 Triliun, Sri Mulyani 'Semprot' Keluhan Rakyat: Soal Utang Kita Bisa Debat, Jangan Pakai Benci dan Kasar

Minggu, 19 Juli 2020 | 20:10
Kompas.com

Menteri Keuangan Sri Mulyani

Sosok.ID - Catatan Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir Mei mencapai 404.7 miliar dollar AS.

Nilai ini setara dengan Rp 5.868,15 triliun (kurs Rp 14.500).

Melansir Kompas.com, utang itu terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dolar AS.

Terkait jumlah utang Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta agar masyarakat berhenti memberikan stigma negatif.

Baca Juga: Koar-koar Minta Kabinet Menteri Ekonomi Era Jokowi Mundur Kalau Menang Debat dari Luhut Soal Utang Negara, Rizal Ramli malah Ngacir Duluan Pas Ditawari Syarat yang Setimpal

Menurut Sri Mulyani, soal utang negara tidak bagus jika terus menerus dikeluhkan oleh masyarakat.

Terlebih keluhan-keluhan yang muncul seringkali disertai umpatan-umpatan tanpa meninjau terlebih dahulu fungsi dan tujuannya.

"Saya ingin menyampaikan, kadang-kadang masyarakat kita sensitif soal utang. Menurut saya, tidak bagus juga," kata Sri Mulyani dalam live Instagram, Sabtu (18/7/2020), dikutip dari Kompas.com.

Alih-alih mengeluh dengan disertai ujaran kebencian, Sri Mulyani menyarankan agar kritik tersebut didialogkan dengan cara yang baik.

Baca Juga: Utang Negara Disasar, Luhut Tantang Pengkritik Tatap Muka: Jangan di Media Sosial, Ketemu Saya Sini

"Karena kalau kita mau bicara tentang policy (ketentuan) utang, ya kita bisa berdebat, jangan pakai benci dan menggunakan bahasa kasar," ungkapnya.

Sri Mulyani mengatakan, kebijakan termasuk utang yang dikeluarkan Menkeu ditujukan untuk mengelola keuangan negara jika penerimaan lebih besar dibanding belanja-belanja pemerintah.

Antara lain untuk belanja infrastruktur meliputi infrastruktur pendidikan, irigasi, saluran air, sanitasi, telekomunikasi, pelabuhan, hingga bandara, yang berlaku pula di sektor lainnya.

"Kalau begitu kita perlu utang? Ya utangnya untuk apa dulu. Kalau untuk membuat infrastruktur kita baik (utang produktif), supaya anak-anak bisa sekolah dan tidak menjadi generasi yang hilang, ya tidak ada masalah," tuturnya.

Baca Juga: Jangan Kaget! Terbesar Sepanjang Sejarah Indonesia, Sri Mulyani Terbitkan Surat Utang Negara Bertenor Setengah Abad, Bakal Jatuh Tempo di Tahun 2070

Ia menyampaikan bahwa utang adalah hal yang sangat wajar terjadi di sebuah negara, tak terkecuali di negara maju sekalipun.

"Itu pilihan kebijakan. Kalau enggak utang, berarti kita menunda kebutuhan infrastruktur. Masalah pendidikan, masalah kesehatan, mungkin tertunda. Jadi negara kita warganya banyak, tapi anak-anaknya bisa rentan," jelasnya.

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dalam mengelola utang.

Sebab pandemi Covid-19 telah menyebabkan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah meningkat.

Baca Juga: Kemarahan Luhut Saat Disebut Utang Negara Bertambah: Saya Tentara Walau Bukan Lulusan Ekonomi, Saya Bisa Jawab Itu!

Kebutuhan belanja negara untuk penanganan pandemi virus corona juga meningkat.

Sementara di sisi lain, penerimaan negara diproyeksi sulit mencapai target, sebab ekonomi dunia usaha tengah terpuruk akibat pandemi.

Itulah sebab pemetintah melakukan pembiayaan utang, yakni untuk memenuhi kebutuhan belanja negara.

Namun Frederico mengingatkan, bahwa lonjakan utang yang tak terkendali justru dapat menjadi penghambat dalam upaya penanganan ekonomi.

Baca Juga: Luhut Kaget Bank Dunia Umumkan Ekonomi Indonesia Menguat, Sri Mulyani Sempat Singgung Butuh Waktu 23 Tahun, Apa Untungnya Naik Status?

"Jika ini tidak dikelola dengan baik, maka stabilitas makroekonomi di Indonesia yang merupakan pilar itu juga menjadi tantangan tersendiri. Itu akan hambat jalan menuju pemulihan," ujarnya, Kamis (16/7/2020).

Frederico menyarankan agar pemerintah melakukan penyaluran subsidi yang lebih tepat sasaran untuk mengendalikan kurva utang.

"Subsidi di sini dilihat belum tepat sasaran, seperti elpiji dan lainnya. Ini bisa dialokasikan ulang, jadi subsidi seperti itu bisa dialihkan ke lain,"

Selain itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah terkait meningkatkan penerimaan pajak.

Baca Juga: Ekonomi Masih Stabil, Luhut Tak Lelah Ingatkan Agar Indonesia Jaga Hubungan Baik dengan Tiongkok: China Itu Negara Soft Power yang Punya Dampak!

Salah satunya dengan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan pada sektor digital.

"Kemudian, kita bisa tingkatkan pajak cukai untuk produk tembakau, plastik, dan produk berpemanis tinggi lainnya karena ini berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan," jelasnya.

Menyadur Kompas.com, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir tahun hanya sebesar 0 persen.

Bahkan, perekonomian RI bisa terkontraksi lebih dalam hingga -2 persen bila terjadi gelombang kedua pandemi.

Baca Juga: Disindir Sri Mulyani Tak Punya Bansos Covid-19, Anies Baswedan Nyatakan DKI Jakarta Punya Anggaran Rp 5 Triliun dan Bisa Bertambah Sesuai Kondisi

Perekonomian Indonesia diperkirakan kembali pulih di tahun depan dengan prediksi mencapai 4,8 persen. (*)

Tag

Editor : Rifka Amalia

Sumber Kompas.com