Sosok.ID - Catatan Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per akhir Mei mencapai 404.7 miliar dollar AS.
Nilai ini setara dengan Rp 5.868,15 triliun (kurs Rp 14.500).
Melansir Kompas.com, utang itu terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dolar AS.
Terkait jumlah utang Indonesia, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta agar masyarakat berhenti memberikan stigma negatif.
Menurut Sri Mulyani, soal utang negara tidak bagus jika terus menerus dikeluhkan oleh masyarakat.
Terlebih keluhan-keluhan yang muncul seringkali disertai umpatan-umpatan tanpa meninjau terlebih dahulu fungsi dan tujuannya.
"Saya ingin menyampaikan, kadang-kadang masyarakat kita sensitif soal utang. Menurut saya, tidak bagus juga," kata Sri Mulyani dalam live Instagram, Sabtu (18/7/2020), dikutip dari Kompas.com.
Alih-alih mengeluh dengan disertai ujaran kebencian, Sri Mulyani menyarankan agar kritik tersebut didialogkan dengan cara yang baik.
Baca Juga: Utang Negara Disasar, Luhut Tantang Pengkritik Tatap Muka: Jangan di Media Sosial, Ketemu Saya Sini
"Karena kalau kita mau bicara tentang policy (ketentuan) utang, ya kita bisa berdebat, jangan pakai benci dan menggunakan bahasa kasar," ungkapnya.
Sri Mulyani mengatakan, kebijakan termasuk utang yang dikeluarkan Menkeu ditujukan untuk mengelola keuangan negara jika penerimaan lebih besar dibanding belanja-belanja pemerintah.
Antara lain untuk belanja infrastruktur meliputi infrastruktur pendidikan, irigasi, saluran air, sanitasi, telekomunikasi, pelabuhan, hingga bandara, yang berlaku pula di sektor lainnya.
"Kalau begitu kita perlu utang? Ya utangnya untuk apa dulu. Kalau untuk membuat infrastruktur kita baik (utang produktif), supaya anak-anak bisa sekolah dan tidak menjadi generasi yang hilang, ya tidak ada masalah," tuturnya.
Ia menyampaikan bahwa utang adalah hal yang sangat wajar terjadi di sebuah negara, tak terkecuali di negara maju sekalipun.
"Itu pilihan kebijakan. Kalau enggak utang, berarti kita menunda kebutuhan infrastruktur. Masalah pendidikan, masalah kesehatan, mungkin tertunda. Jadi negara kita warganya banyak, tapi anak-anaknya bisa rentan," jelasnya.
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dalam mengelola utang.
Sebab pandemi Covid-19 telah menyebabkan kebutuhan pembiayaan utang pemerintah meningkat.
Kebutuhan belanja negara untuk penanganan pandemi virus corona juga meningkat.
Sementara di sisi lain, penerimaan negara diproyeksi sulit mencapai target, sebab ekonomi dunia usaha tengah terpuruk akibat pandemi.
Itulah sebab pemetintah melakukan pembiayaan utang, yakni untuk memenuhi kebutuhan belanja negara.
Namun Frederico mengingatkan, bahwa lonjakan utang yang tak terkendali justru dapat menjadi penghambat dalam upaya penanganan ekonomi.
"Jika ini tidak dikelola dengan baik, maka stabilitas makroekonomi di Indonesia yang merupakan pilar itu juga menjadi tantangan tersendiri. Itu akan hambat jalan menuju pemulihan," ujarnya, Kamis (16/7/2020).
Frederico menyarankan agar pemerintah melakukan penyaluran subsidi yang lebih tepat sasaran untuk mengendalikan kurva utang.
"Subsidi di sini dilihat belum tepat sasaran, seperti elpiji dan lainnya. Ini bisa dialokasikan ulang, jadi subsidi seperti itu bisa dialihkan ke lain,"
Selain itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah terkait meningkatkan penerimaan pajak.
Salah satunya dengan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan pada sektor digital.
"Kemudian, kita bisa tingkatkan pajak cukai untuk produk tembakau, plastik, dan produk berpemanis tinggi lainnya karena ini berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan," jelasnya.
Menyadur Kompas.com, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir tahun hanya sebesar 0 persen.
Bahkan, perekonomian RI bisa terkontraksi lebih dalam hingga -2 persen bila terjadi gelombang kedua pandemi.
Perekonomian Indonesia diperkirakan kembali pulih di tahun depan dengan prediksi mencapai 4,8 persen. (*)