Pantas Diincar China, Natuna Utara Simpan Gunungan Harta Karun, Indonesia Sampai Rubah Peta

Kamis, 02 Juli 2020 | 14:00
koarmada2.tnial.mil.id

Pulau Natuna menjadi garis depan dalam kontes untuk pengaruh dan kontrol jalur air strategis yang vital di Laut China Selatan.

Sosok.ID - Kepulauan Natuna, menjadi wilayah yang disengketakan China dan Indonesia sejak tahun 2016 silam.

Hingga kini, konflik di Natuna pun masih timbul tenggelam.

Indonesia telah secara tegas membantah klaim China karena dianggap tidak berdasar.

Melansir The Sydney Morning Herald, Pulau Natuna menjadi garis depan dalam kontes untuk pengaruh dan kontrol jalur air strategis yang vital di Laut China Selatan.

Baca Juga: Lebih Berani dari Negara ASEAN Lainnya, Indonesia Ambil Langkah Ganti Nama Laut China Selatan Jadi Laut Natuna Utara demi Lawan Kenekatan Tiongkok!

Indonesia, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina semuanya memiliki hak atas laut ini di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.

Taiwan juga mengklaim wilayah ini. Sementara China, berpegang di bawah kebijakan "sembilan garis putus-putus" (nine dash line), menganggap lebih dari 80% perairan ini adalah milik mereka.

Menurut prediksi yang dirilis 2015 lalu, wilayah ini menyumbang 12% dari tangkapan ikan global.

Akan tetapi, masalahnya bukan hanya ikan saja. Ini juga menyangkut soal tentang pulau-pulau kecil yang termiliterisasi dan kebebasan navigasi di perairan yang dilalui sepertiga pengiriman global setiap tahun.

Baca Juga: China Paksakan Klaimnya di Pasifik, Natuna Jadi Benteng Terdepan Indonesia Hadapi Serbuan Negeri Panda

Data yang dihimpun The Sydney Morning Herald menunjukkan, Departemen Luar Negeri AS memperkirakan pada 2019 terdapat cadangan minyak dan gas yang belum dimanfaatkan di Laut China Selatan senilai US$ 2,5 triliun.

Perkiraan lain dari Badan Informasi Energi AS, ada kemungkinan 11 miliar barel cadangan minyak dan 190 triliun kaki kubik gas alam.

Klaim Tiongkok atas laut dan programnya membangun terumbu karang menjadi pulau buatan sejak 2014 menjadi perhatian terbesar dunia saat ini.

Baca Juga: Siap Pasang Badan Lindungi NKRI dari Konflik AS - Tiongkok yang Bisa Pecah Perang Sewaktu-waktu, TNI Siagakan 4 Kapal Perang di Perairan Natuna

Tempat-tempat yang dulu hanya ditandai oleh gubuk-gubuk nelayan sekarang dapat menampung pesawat-pesawat militer, rudal, dan stasiun pengisian bahan bakar untuk Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA-N).

Dapat dikatakan, Beijing menciptakan fakta di atas air dan mengubah medan yang menjadi sengketa.

Bagaimana situasi konflik Indonesia dengan China di wilayah ini?

Melansir Kompas.com, banyak faktor yang melatarbelakangi konflik tersebut.

Baca Juga: Gawat! Konflik Tiongkok vs Kapal Induk AS Berpotensi Geser ke Laut Natuna, TNI AL Siagakan 4 Kapal Tempur Sekaligus: Militer Asing yang Sedang Memanas Berpotensi Geser ke Selatan

Pada Maret 2016, konflik antara pemerintah Indonesia dengan China terjadi lantaran ada kapal ikan ilegal asal China yang masuk ke Perairan Natuna.

Pemerintah Indonesia berencana untuk menangkap kapal tersebut.

Tetapi, proses penangkapan tidak berjalan mulus, lantaran ada campur tangan dari kapal Coast Guard China yang sengaja menabrak KM Kway Fey 10078.

Hal itu diduga untuk mempersulit KP HIU 11 menangkap KM Kway Fey 10078.

Baca Juga: Tidak Berharap Bantuan Negara Lain, Analis Ungkap Indonesia Siapkan Taktik Jitu Tandingi Kekuatan PLA Navy China di Natuna Utara

Pada waktu itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan, dalam pertemuan dengan Sun Weide, Kuasa Usaha Sementara China di Indonesia, pihak Indonesia menyampaikan protes keras terhadap China.

Sebulan setelah konflik tersebut, Pemerintah Indonesia menganggap persoalan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Coast Guard China di Perairan Natuna sudah selesai.

Kemudian, pada Juli 2017, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru.

Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara.

Baca Juga: Rongrongan Militer Tiongkok Kian Menguat, India Ketar-ketir Beijing Caplok Wilayah Teritorial Ladakh, Indonesia Dijadikan Permisalan

Langkah tersebut diambil untuk menciptakan kejelasan hukum di laut dan mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia. Keputusan tersebut memicu kritik dari Beijing.

Lalu, pada 19 Desember 2019, sejumlah kapal asing penangkap ikan milik China diketahui memasuki Perairan Natuna, Kepulauan Riau.

Kapal-kapal China yang masuk dinyatakan telah melanggar exclusive economic zone (ZEE) Indonesia dan melakukan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUUF).

Selain itu, Coast Guard China juga dinyatakan melanggar kedaulatan di perairan Natuna.

Baca Juga: Anggaran Militer Kadung Disunat Prabowo, Langkah Picik Tiongkok atas Laut China Selatan Ancam Posisi Indonesia di Natuna Utara

Persaingan di atas ombak

Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara

Peta Natuna

Setelah kapal-kapal China memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) awal tahun ini, Indonesia mengerahkan angkatan lautnya dan kapal-kapal Bakamla (keamanan maritim).

Beberapa jet tempur F-16 juga dikerahkan, serta mengirim kapal-kapal nelayan dari pulau utama Jawa untuk mengusir serbuan China. Akhirnya, kapal-kapal China meninggalkan perairan.

Greg Poling, direktur Pusat Studi Strategis dan Internasional Asia Maritime Transparency Initiative yang bermarkas di Washington, mengatakan, China belum "memenangkan" Laut China Selatan.

Baca Juga: Tak Jauh dari Natuna, Ini Dia Pangkalan Militer China yang Bisa Mengoperasikan Pesawat Pembom Nuklir Strategis Jarak Jauh

"Tetapi saya benar-benar berpikir tentang metrik apa pun yang Anda gunakan yang kalah dari AS dan Selatan. Negara-negara Asia Timur kalah.

"Apakah Anda ingin melihatnya sebagai masalah hukum internasional atau akses atau sumber daya, jelas China menang di semua lini," paparnya kepada The Sydney Morning Herald.

Dia menambahkan, "China berniat mendominasi Laut China Selatan tanpa kekuatan, dengan memaksa negara-negara Asia Tenggara menerima bahwa mereka telah kalah.

"Mereka menunjukkan dominasi China dengan pasukan paramiliter dan penjaga pantai sedemikian rupa sehingga (mereka) harus menerima apa pun kesepakatan yang buruk yang ada di atas meja, dengan demikian merusak kredibilitas AS, Australia, Jepang dan siapa pun."

Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Natuna jadi garis terdepan sengketa wilayah RI vs Tiongkok di Laut China Selatan"

(Barratut Taqiyyah Rafie)

Tag

Editor : Rifka Amalia

Sumber Kontan.co.id