Sosok.ID - Sebanyak 61 negara membuat koalisi menjelang pertemuan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) pada Senin (18/5/2020) kemarin.
Di dalam koalisi tersebut terdapat juga nama Indonesia yang masuk dalam kelompok negara yang menginginkan penyelidikan terhadap wabah virus corona.
Negara tetangga Indonesia, Austalia menjadi yang pertama dalam hal meminta penyelidikan independen tersebut.
Australia menaruh kecurigaan bagaimana wabah virus corona bisa menyebar luas dengan cepat.
Penyampaian permintaan tersebut akan disampaikan di forum badan pengambilan keputusan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Apa yang dilakukan oleh puluhan negara tersebut mengundang kecaman keras dari Beijing.
Bahkan China menuding Australia melancarkan serangan politik terhadap Negari Panda.
Namun yang dilakukan Australia tersebut mendapatkan dukungan dari dunia internasional dan terus berkembang.
Melansir dari ABC, Australia kini tengah mengayunkan senjata diplomatiknya di belakang Uni Eropa, yang juga mendesak diadakannya penyelidikan.
Meski begitu, pengambilan jalur yang lebih berdamai dengan China adalah upaya utama.
Uni Eropa dan Australia kini juga tengah menggalang dukungan untuk rancangan mosi Uni Eropa yang menyerukan "evaluasi kesehatan internasional terkoordinasi WHO untuk Covid-19".
Dan pada hari Minggu (17/5/2020) malam, ada 62 negara termasuk Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Turki, Rusia, Inggris, hingga Afrika Selatan mendukung mosi tersebut.
Dalam mosi tersebut secara khusus menyebut China atau kota Wuhan sebagai tempat wabah virus corona bermula hingga menyebar dengan cepat ke seluruh dunia.
"Ada dukungan positif untuk peninjauan independen terhadap pandemi untuk membantu dunia mempelajari pelajaran yang diperlukan untuk kesehatan global," kata Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne seperti dikutip ABC.
"Ada dukungan positif untuk peninjauan independen terhadap pandemi untuk membantu dunia mempelajari pelajaran yang diperlukan untuk kesehatan global," kata Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne seperti dikutip ABC.
"Ini tentang berkolaborasi untuk melengkapi komunitas internasional guna mencegah atau melawan pandemi berikutnya dengan lebih baik dan menjaga masyarakat kita aman," sebut Payne.
Virginie Battu-Henriksson, juru bicara Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri, mengatakan, pihaknya fokus untuk mencapai konsensus penyelidikan tersebut.
"Tentu, kami perlu mendapat dukungan dari semua pemain utama, dan China adalah salah satunya," katanya kepada ABC.
Sebenarnya harapan yang dilontarkan pejabat Negeri Kangguru itu adalah 120 negara mendukung penyelidikan tersebut.
Melansir dari AFP, China pun angkat bicara mengenai koalisi lebih dari 60 negara tersebut.
China pun bersumpah apa pun vaksin virus corona yang nantinya akan digunakan mereka, bakal mejadikan barang tersebut sebagai barang publik global.
Hal itu disampaikan langsung oleh Presiden China, Xi Jinping di Majelis Kesehatan Dunia (WHA), Senin (18/5/2020).
Kini negara tersebut tengah menguji klinis 5 calon vaksin covid-19.
Dalam pidatonya Xi berujar, "Setelah penelitian dan pengembangan vaksin virus corona di China selesai dan mulai digunakan, itu akan menjadi barang publik global."
Xi melanjutkan, langkah ini akan menjadi kontribusi China dalam mencapai aksesibilitas dan keterjangkauan vaksin corona di negara-negara berkembang juga.
Xi lalu menambahkan dalam pertemuan virtual tersebut bahwa China akan memberikan bantuan Covid-19 global sebanyak 2 miliar dollar AS (Rp 29,65 triliun) selama dua tahun.
Namun langkah China tersebut dibayang-bayangi pengalaman buruk yang pernah terjadi mengenai vaksin.
Dua tahun lalu, sebuah skandal besar terjadi ketika lebih dari 200.000 anak-anak mendapatkan vaksin diphtheria, tetanus, dan batuk yang tidak efektif.
Baca Juga: 5 Kabar Baik Bagi Warga Indonesia Ditengah Pandemi Corona
Perusahaan yang sama Changchun Changsheng juga mendapat hukuman karena memalsukan produksi dan catatan pemeriksaan berkenaan dengan vaksin rabies.
Salah satu perusahaan yang sekarang terlibat dalam uji klinis Covid-19, Wuhan Institute of Biological Products, juga pernah dihukum karena kesalahan prosedur dalam membuat vaksin DPT di tahun 2016.
Namun masalah yang dihadapi ilmuwan China sekarang adalah bahwa mereka yang tertular Covid-19 semakin berkurang, sehingga berpengaruh pada uji klinis tahap ketiga. (*)