Sosok.ID - Sebelum pandemi Covid-19 merebak di hampir seluruh negara di dunia, ilmuwan telah menggerakkan jam kiamat di awal tahun 2020.
Jam kiamat inidipublikasikan sebagai penelitian tentang "ancaman eksistensial buatan manusia seperti perang nuklir, perubahan iklim, dan teknologi yang mengganggu."
Perubahan iklim, perang nuklir, percepatan teknologi, dan kepemimpinan yang tidak kompeten, dianggap telah mengancam keselamatan dunia.
Dilansir dari wikipedia, jam kiamat atau Doomsday clock adalah jam simbolis yang mewakili hitung mundur berosilasisudah ada sejak tahun 1947.
Jam ini dikelola oleh Science and Security Board (Dewan Ilmu Pengetahuan dan Keamanan) pada Bulletin of the Atomic Scientists di University of Chicago, Amerika Serikat.
Semakin dekat jarum jam tersebut pada tengah malam, maka diyakini pula bahwa semakin dekat bumi kita dengan kehancuran.
Mulanya, jam kiamat digunakan untuk menggambarkan ancaman perang nuklir global.
Namun sejak tahun 2007, jam tersebut juga mencerminkan tentang adanya perubahan iklim di dunia.
Bukan hanya itu, jarum jam ini juga berherak seiring perkembangan baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membawa bahaya bagi kehidupan manusia.
Manusia pada dasarnya akan dihancurkan oleh teknologi super canggih yang mereka buat sendiri.
Dilansir dari The Guardian, menurut para ilmuwan dan mantan pejabat AS menyebutkan bahwa risiko keruntuhan sipil dari senjata nuklir dan krisis iklim dunia saat ini sedang berada pada rekor tertinggi.
Mereka menyebut bahwa lingkungan saat ini, "sangat tidak stabil."
Mereka mengatakan, maraknya "kampanye disinformasi yang dimungkinkan oleh dunia maya" menambah ancaman bergeraknya jam kiamat.
Buletin Ilmuwan Atom mengumumkan "jam kiamat" simbolisnya telah bergerak maju ke 100 detik hingga tengah malam, yang paling dekat dengan bencana dimana para ilmuwan menilai dunia berada pada titik mana pun sejak penciptaannya pada tahun 1947, pada awal musim dingin perang.
Tengah malam dalam jarum Doomsday clock diartikan sebagai kehancuran dunia.
Jika jarum panjang jam bergerak semakin dekat dengan angka 12, maka bumi berada dalam keadaan genting menuju kehancuran.
Rachel Bronson, Presiden dan CEO di Bulletin, mengatakan: "Kondisi nuklir dan iklim semakin memburuk. Ini akan menjadi hak istimewa dan kesenangan apabila kita menggerakkan jarum jam ke arah mundur, tapi sayangnya itu tidak terjadi." Ungkapnya, dikutip dari Mirror, Sabtu (25/1/2020).
Bulletin menempatkan 'kelambanan para pemimpin internasional', dan juga 'kegiatan kontraproduktif' mereka, mempengaruhi rusaknya lingkungan.
Ini menjelaskan: "Mengingat tidak adanya tindakan, dan dalam banyak kasus muncul tindakan kontraproduktif dari para pemimpin internasional, anggota Dewan Sains dan Keamanan dipaksa untuk menyatakan keadaan darurat yang membutuhkan perhatian segera, terfokus, dan tak henti-hentinya dari seluruh dunia,"
"Jarum jam ini menunjukkan100 detik hingga tengah malam. Sementara ia akan terus berdetak. Diperlukan tindakan segera." Lanjutnya.
Ilmuwan khawatir bahwa kita memasuki era yang tidak stabil, dimana lebih banyak negara bagian memiliki nuklir dan cenderung menggunakannya.
Jam Kiamat tidak bergerak pada 2019, dan terakhir digerakkan pada Januari 2018.
Pada saat itu, jam bergerak 30 detik, menjadi dua menit sebelum tengah malam, jarak yang paling dekat dengan kiamat sejak 1953.
Namun pada tahun 2020, jam ini kembali digerakkan maju 20 detik, menyisakan 100 detik menuju 'tengah malam', meningkatkan kewaspadaan akan kehancuran dunia.
Ketika pertama kali diciptakan, bahaya terbesar bagi kemanusiaan datang dari senjata nuklir, terutama dari prospek perlombaan senjata nuklir antara AS dan Uni Soviet.
Namun, pada 2007, gangguan katastropik dari perubahan iklim juga mulai dipertimbangkan oleh Buletin Ilmuwan Atom.
Pada hari-hari awal, Eugene Rabinowitch, Editor Buletin Ilmuwan Atom memutuskan tentang kapan jarum jam harus dipindahkan.
Namun, ketika Rabinowitch meninggal pada tahun 1973, Dewan Sains dan Keamanan Bulletin mengambil alih tanggung jawab, dan sejak itu, mereka bertemu dua kali setahun untuk membahas apakah jam tersebut perlu disetel ulang.
Dewan ini terdiri dari ilmuwan dan ahli lainnya dengan berbagai pengetahuan dalam teknologi nuklir dan ilmu iklim.
Melansir dari The Guardian, Mary Robinson, ketua kelompok independen pemimpin global bernama The Elders, dan mantan presiden Irlandia dan mantan komisaris tinggi hak asasi manusia PBB mengatakan, “Dunia harus bangun. Planet kita menghadapi dua ancaman eksistensial simultan,"
Robinson mengatakan bahwa negara-negara yang tidak bertujuan untuk menghilangkan emisi gas rumah kaca yang memanaskan planet ini dan justru malah mengeksploitasi bahan bakar fosil, maka mereka sedang mengeluarkan “hukuman mati untuk kemanusiaan."
Selama senjata nuklir tersedia, maka tidak bisa dihindari mereka suatu hari nanti akan menggunakannya, "secara tidak sengaja, salah perhitungan atau desain", katanya.
The Guardian menyebutkan bahwa tahun lalu adalah rekor terpanas kedua di permukaan Bumi.
Suhu rata-rata 2019 adalah 1,1C lebih hangat dari rata-rata antara 1850 dan 1900, sebelum peningkatan penggunaan bahan bakar fosil.
Emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia berada di jalur untuk mendorong pemanasan ke 3 atau 4C.
Gangguan itu mengintensifkan cuaca ekstrem dan diperkirakan akan memperburuk kemiskinan dan kerusuhan global.
"Jika Bumi menghangat dengan apa yang kita anggap sebagai hanya beberapa derajat dan kehidupan manusia mendorong planet ke kebalikan dari Zaman Es, atau bahkan mendorong iklim di tengah jalan, kita tidak punya alasan untuk yakin bahwa dunia seperti itu akan tetap ramah terhadap peradaban manusia, ”kata Sivan Kartha, anggota dewan, ilmuwan senior di Stockholm Environment Institute dan penulis laporan penilaian kelima dan keenam dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim.
Seperti dikutip Sosok.ID, dilansir dari The Guardian, Sabtu (25/1/2020), Robert Latiff, anggota dewan dan pensiunan jenderal angkatan udara, mengatakan bahwa pemerintahan Trump "meremehkan pendapat ahli" mengancam tindakan pada perubahan iklim dan sejumlah masalah berbasis ilmu pengetahuan lainnya.
Teknologi dan perkembangan baru, hingga patogen berbahaya dan kecerdasan buatan, semua bisa mengancam perdamaian global yang rapuh.
Kebijakan-kebijakan Trump yang seringkali memicu hubungan tak damai di dunia, perlu diperbarui demi mencegah bencana.
Sementara keberadaanDoomsday clockadalah sebuah metafora yang dipantau oleh para ahli.
Mengikuti sebab dan akibat yang mengarah pada kehancuran dunia dalam ilmu pengetahuan, maka jarum jam ini akn digerakkan.
Sebagai sebuah pengingat bahaya yang perlu diwaspadai, dan harus kita atasi, jikamasih berkenan hidup di bumi. (Rifka/Sosok.ID)