Sosok.ID - Satu kasus virus corona atau Covid-19 di Indonesia, menemui ajalnya.
Pasien merupakan kasus ke 25 atau yang disebut juga kasus 25, yang dilaporkan Indonesia pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hal ini disampaikan oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan virus corona, Achmad Yurianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (11/3/2020).
"Tadi malam pukul 02.00 WIB lewat sedikit, pasien identitas nomor 25 meninggal dunia," ungkap Yuri, dikutip dari Kompas.com.
Sebelum terinfeksi virus corona, pasien tersebut memang sudah sakit berat.
Baca Juga: Semakin Bertambah, Pasien Terjangkit Corona di Indonesia Jadi 34 Kasus
Ia memiliki penyakit lain, yakni diabetes, hipertensi, dan paru obstruksi menahun.
Sementara hingga artikel ini dibuat, Kamis (12/3) pagi, Indonesia telah mengonfirmasi sebanyak 34 kasus positif Covid-19.
Panic buying masyarakat Indonesia
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama virus corona (2/3), masyarakat Indonesia dinilai terlalu berlebihan dalam menyikapinya.
Pasalnya, pusat perbelanjaan di berbagai daerah langsung diserbu.
Warga berbondong-bondong membeli sembako dan kebutuhan pokok lainnya karena khawatir Covid-19 bakal merebak.
Baca Juga: Asal Mau Diinfeksi Virus Corona, Kamu Bisa Dapat Rp 65 Juta Lho! Begini Caranya..
Upaya tersebut dikatakan sebagai antisipasi jika suatu saat tempat publik bakal ditutup.
Bukan hanya sembako, masyarakat yang panik juga memborong habis masker bedah dan hand sanitizer.
Harga barang-barang tersebut sontak melambung tinggi di atas harga normal, yang justru menimbulkan kekhawatiran lain.
Stok masker yang menipis dan langka, menjadikan para petugas kesehatan dan orang dengan penyakit menular kesulitan mendapatkannya.
Menteri Kesehatan dan jajaran pemerintahan telah memperingatkan pada warga, bahwa orang yang perlu memakai masker adalah mereka yang sakit, dalam masa penyembuhan, dan petugas yang menangani pasien.
Baca Juga: Tak Hanya Warga Biasa, Jenderal Angkatan Darat Bisa Kena Corona, Satu Negara Lantas Diisolasi
Seolah-olah hanya mereka yang berduit yang boleh mengantisipasi virus corona.
Fenomena "panic buying" hingga membeli barang-barang pokok dalam jumlah besar lantas dinilai merugikan, terutama bagi warga kecil.
Melansir Kompas.com, perusahaan konsultan Grant Thornton Indonesia menyatakan tindakan panic buying bisa merugikan keuangan secara personal.
“Fenomena panic buying ini dapat menimbulkan kerugian secara keuangan tidak hanya secara personal namun juga secara luas, kami menyarankan untuk menahan diri dan membeli barang dalam jumlah sewajarnya,” ujar Alexander Adrianto Tjahyadi, Audit & Assurance Partner Grant Thornton Indonesia, Rabu (4/3).
Pihak Istana melalui Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko juga mengerahkan Kapolri untuk menangani fenomena ini.
"Nanti Kapolri supaya menurunkan anggotanya untuk ikut membatasi masyarakat melakukan hal yang berlebihan seperti itu," kata Moeldoko, Senin (2/3).
"Tidak perlu panik masyarakat tenang, kalau itu terjadi malah akan mempengaruhi ketersediaan," ujarnya.
Panik adalah bakat
Menanggapi hal tersebut, pakar Neurosains dr. Ryu Hasan, SpBS dalam acara bertajuk Mengenali Virus Melawan Panik menyebutkan, kepanikan adalah suatu bakat yang muncul pada diri seseorang.
"Panik atau tidak, itu bakat," kata Ryu, Selasa (10/3).
Lebih lanjut, Ryu menjelaskan bahwa cara pandang manusia dalam menghadapi persoalan tergantung dari bakat suatu individu.
Orang dengan bakat bahagia, menurut Ryu akan menghadapi segala kasus dengan bahagia pula.
Sementara orang Indonesia, cenderung memiliki bakat kepanikan yang lebih besar dibanding bahagia.
"Sebetulnya kepanikan itu juga bakat. Tapi kepanikan massa itu adalah berbeda," ujar dia.
Ryu mencontohkan bakat kepanikan masyarakat Indonesia dan Jepang yang berbeda
Orang Jepang cenderung lebih mudah panik secara individual, tetapi tidak untuk kepanikan masal. Namun Indonesia, justru sebaliknya.
Warga jepang akan lebih mudah panik dengan masalah pribadi masing-masing, dan merasa lebih santai saat menghadapi masalah kelompok seperti gempa dan tsunami.
"Tapi mereka itu misal ada tsunami, anteng (santai) saja, melepaskan pekerjaannya, berjalan menuju ke titik kumpul dan keluar lagi kalau tsunami sudah selesai, kembali lagi kerja," ujar dia.
Kendati demikian, kepanikan massal yang ada di Indonesia sebenarnya dapat diubah melalui sistem.
"Itu kalau mau kita ubah itu adalah sistemnya. Sistemnya itu bukan bottom-up, tapi top-down," kata Ryu.
Sistem top-down yang dimaksudkan adalah persepsi yang bersumber atau berasal dari memori yang telah disimpan di dalam ingatan manusia.
"Kita dari dulu sudah sering ditakut-takuti dengan hal-hal yang tidak ada, dan itu jadi ingatan kita dan membuat tertanam ketakutan dan kekhawatiran sesuatu yang tidak ada tadi," jelasnya. (*)