Sosok.ID -Masalah kemerdekaan di Papua Barat kemungkinan akan muncul lagi dalam beberapa bulan mendatang karena Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua tahun 2001 akan berakhir pada November 2021.
Setelah diskusi di antara para menteri, Pemerintah Indonesia telah menegaskan posisinya dan akan terus memberikan dana otonomi khusus dan memperpanjang kerangka waktu undang-undang otonomi khusus Papua Barat.
Keputusan itu memicu kemarahan Benny Wenda, Ketua United Liberation Movement of West Papua, yang menulis:
Pada tahun 1969, setelah “pemungutan suara” palsu untuk melegitimasi penjajahan Indonesia di Papua Barat, Indonesia berjanji bahwa kami akan menjadi daerah otonom di Indonesia. Sebagai daerah “otonom” selama 30 tahun ke depan, ratusan ribu orang Papua Barat, termasuk sebagian besar keluarga saya, dibunuh oleh militer dan polisi Indonesia. Dari operasi militer brutal di dataran tinggi Papua tahun 1977-81 ("Operasi Koteka" dan "Operasi Sapu Bersih") hingga pembunuhan massal, pemerkosaan dan penyiksaan ratusan orang di Pulau Biak pada tahun 1998, "otonomi" palsu ini bagi kami berarti satu hal - genosida.
Berbicara mengenai Papua, kekerasan antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan sejumlah kelompok masyarakat Papua Barat masih sering terjadi.
Seperti, sejumlah bentrokan yang terjadi pada tahun 2019 yang menelan korban sedikitnya 15 orang.
Atau protes yang meluas juga terjadi pada Agustus 2019 menyusul sebuah insiden di kota Surabaya, Jawa, di mana 43 siswa Papua ditangkap oleh polisi atas klaim mereka telah memfitnah bendera Indonesia, sementaraorang-orang lainnya melontarkan hinaan rasisme dan meneriakkan agar orang Papua diusir atau dibantai.
Protes berikutnya menyebabkan sejumlah bangunan pemerintah dan komersial dihancurkan atau dibakar.