Sosok.ID - Berbicara abad pertengahan di Eropa, semuanya buram.
Saat itu pola pikir masyarakat disana terkekang, kaku dan kadang abnormal.
Mengutip History Daily, Rabu (4/9/2019) Eropa tahun 1800-an bisa dibilang sebagai masa kebodohan.
Bayangkan saja, istri dan anak-anak dijadikan komoditi dagangan.
Contoh saja jika ada suami yang tak sudi lagi berumah tangga atau jatuh kedalam masa sulit boleh membawa istrinya ke pasar.
Tujuannya untuk dijual kepada pembeli nantinya.
Perlu dicatat, praktik tersebut legal dan biasa terjadi di masyarakat kalangan bawah saat itu.
Pasalnya disana biaya perceraian mahal dan menjual istri atau anak adalah jalan pintas terbaik.
Baca Juga: Misi Kina, Kisah Operasi Militer Mendebarkan TNI AU yang Kibuli Otoritas Bandara Filipina
Perceraian membutuhkan Undang-Undang Parlemen dan izin dari sebuah gereja dan biaya ini setara dengan 15.000 dolar (Rp 212 juta) dengan kurs mata uang hari ini.
Berangkat dari situ istri-istri kelas pekerja rela dijual suaminya di pasar ternak kepada penawar tertinggi.
Ada pula wanita yang ingin meninggalkan pernikahan yang tidak bahagia atau mengalami tindak kekerasan juga bisa meminta untuk dijual dan biasanya keputusan itu adalah miliknya.
Namun jika ia tak suka dengan pembeli maka ia bisa menolak.
Praktik ini amat populer di Eropa pada abad pertengahan lantaran sering terjadi desersi ekonomi akibat ulah kaum Borjuis dan Bangsawan yang selalu memonopoli perekonomian.
Akan tetapi praktik ini mulai memudar seiring berjalannya waktu dan negara-negara disana mulai melarang penjualan istri di pasar-pasar ternak. (*)